Ponpes Daarul Rahman, Oase Spiritual di Jantung Jakarta

PERNAHKAH Anda membayangkan pondok pesantren yang berdiri di tengah kawasan bisnis, dikelilingi gedung-gedung pencakar langit kota metropolitan Jakarta? Pondok pesantren (Ponpes) itu tak lain, Daarul Rahman, pimpinan KH. Syukron Makmun. Posisinya yang berada di jantung kota Jakarta, tepatnya di pusat bisnis Sudirman, Jl. Senopati Dalam II No. 35 A Kebayoran Baru Jakarta Selatan, memang terbilang unik.

Kontras dengan gedung-gedung lainnya yang ada di kawasan itu, Daarul Rahman menyiratkan eksistensi pesantren di tengah kota. Di tengah pusaran kehidupan bisnis, hiburan, dan pemerintahan di Jakarta, ternyata masih ada ruang-ruang spiritual yang tersedia untuk ‘kesejukan’ masyarakat kota. Tak berlebihan jika Ponpes ini disebut “Oase Spiritual di Jantung Jakarta”.

Dalam bahasa lain, Daarul Rahman melengkapi taman-taman kota dan ruang terbuka hijau yang belakangan digalakkan Pemprov DKI Jakarta. Jika taman memberi kesejukan lahir, maka Daarul Rahman mengalirkan kesejukan batin spiritual bagi warga kota. Ia juga menjadi cermin bagi santri bahwa kehidupan nyata di balik dinding pesantren kian menantang.

Ponpes Daarul Rahman didirikan pada 11 Januari 1975 oleh KH. Syukron Makmun bersama kawan-kawannya; KH. Untung Ghozali BA, KH. Mansyuri Baidlowi MA, Ust. Nuharzim  BA, KH. Kadir Rahaman, KH Abdurahman Naidi, dan H. Muhammad Noor Mughi. Pesantren ini menempati lahan wakaf dari H. Abdurahman Naidi. Kawasan Senopati pada tahun 1970-an masih berbentuk kampung. Tapi pesatnya perkembangan Jakarta pada tahun 1980-an dengan cepat mengubah kawasan ini dari kampung menjadi segitiga emas bisnis Jakarta.

Idealisme Kiyai Syukron untuk mendirikan pesantren Daarul  Rahman yaitu ingin menggabungkan antara model klasikal ala pesantren Gontor dan model Salafiyah. “Kami ingin membentuk kader ulama yang berwawasan intelektual” ujar Kiyai Syukron.
Cita-cita ini tak lepas dari latar belakang pendidikannya. Kiyai yang berasal dari Madura, ini pada awalnya menempuh pendidikan sekolah guru di Madura. Tapi, anak kedua dari 14 bersaudara ini tidak lantas menjadi guru, melainkan memilih memperdalam ilmu agama Islam.

Ia menempuh pendidikan di pesantren tradisional (salafiyah) dan pesantren modern. Pendidikan salaf ia timba selama dua tahun di Pesantren Salafiyah, Pasuruan Jawa Timur. Kemudian, selama sembilan tahun, ia melanjutkan pendidikan dan mengabdi di Pesantren Gontor, Ponorogo. Di Gontor pula ia mencicipi bangku kuliah, tepatnya di Insitut Darusalam. Dari pesantren salaf ia mendapatkan ilmu agama melalui kitab kuning, sementara di Gontor ia memperoleh kemahiran bahasa Arab dan Inggris dan berorganisasi.

Latar belakang salaf dan modern itulah yang coba dikombinasikan dalam wujud Pesantren Daarul Rahman. Dengan begitu santri-santri yang belajar di Daarul Rahman memiliki kemampuan membaca kitab kuning, memperoleh kemahiran berbahasa Arab dan Inggris, serta cara-cara berorganisasi. Seiring perkembangan zaman, mereka juga dibekali dengan kemampuan ilmu-ilmu umum.
Pesantren Daarul Rahman memang memiliki kurikulum tersendiri yang khas. Komposisi mata pelajaran adalah 75 persen ilmu agama dan 25 persen ilmu pengetahuan umum. Sejak awal, pesantren ini tidak menggunakan kurikulum kurikulum Nasional. Akibatnya, pada masa Orde Baru ijazah yang dikeluarkan Daarul Rahman tidak diakui pemerintah.

Ketika Reformasi bergulir, Mendiknas Malik Fajar memberikan perhatian lebih pada pesantren. Ia mengeluarkan SK yang memperbolehkan Daarul Rahman tidak mengikuti kurikulum pemerintah. Dengan menjalankan kurikulum sendiri, tanpa mengikuti UAN ijazah lulusan Daarul Rahman disamakan sebagai ijazah negeri.

Kegiatan sehari-hari santri di pesantren ini sangat padat. Hal ini membiasakan diri mereka disiplin baik dalam belajar maupun beribadah. Penerapan sistem klasikal dimulai sejak pukul 06.30 hingga menjelang shalat Ashar. Dimulai dengan percakapan bahasa Arab dan Inggris di halaman sekolah dari pukul 06.30 sampai 07.10.

Pada pukul 07.20 hingga 12.40 santri mengikuti pelajaran formal di dalam kelas. Lalu pada siang harinya sampai pukul 15.00 santri kelas I dan II Tsanawiyah mengikuti kursus bahasa Inggris.
Sistim salafi diberlakukan pada sore hingga ba’da subuh. Pada pukul 16.00 hingga pukul 17.30 santri kelas II Tsanawiyah sampai kelas III Aliyah belajar kitab kuning di kelas. Hanya saja proses belajar mengajar ini tidak bandongan atau sorogan  seperti pesantren salaf pada umumnya.

Selepas shalat maghrib sampai isya santri Tsanawiyah membaca Al-Qur’an di bawah bimbingan para ustadz. Tapi bukan berarti santri dari kelas lain istirahat, karena mereka belajar kitab kuning lagi. Pukul 20.00 santri kembali masuk kelas hingga pukul 22.30. Baru setelah itu santri bisa istirahat, tidur sampai datang waktu subuh. Kemudian ba’da subuh kelas I belajar kitab kuning di kelasnya masing-masing.

Meski berada di tengah kota, dengan sistem pendidikan klasikal dan salaf yang padat tersebut santri tidak memiliki kebebasan atau peluang untuk bermain-main di Jakarta. Dengan demikian, tidak ada kekhawatiran akan kontaminasi budaya permisif masyarakat kota. Sebab, selama berada di pesantren, santri difokuskan untuk menuntut ilmu. Di samping itu, peraturan yang ditegakkan di pesantren juga terbilang ketat.

Kiyai Syukron yakin kombinasi antara salaf dan modern akan membentuk santri yang cerdas dan tidak ketinggalan zaman. Sebab, di Daarul Rahman, santri juga belajar matematika, fisika, dan kimia. Di samping itu, para santri pun diajarkkan komputer. Agar tidak ketinggalan informasi, santri juga berlangganan surat kabar.
Di banding sekolah umum, menurut Kiyai Syukron pesantren memiliki kelebihan pada soal akhlak dan disiplin berpakaian. ”Satu-satunya pendidikan yang tidak dipengaruhi budaya barat, adalah pesantren,” katanya.

Meski mengajarkan pelajaran umum, tapi tujuan pesantren untuk mencetak ahli agama tidak dapat dilupakan. Sebab, jika terlalu menitikberatkan ke pelajaran umum, pesantren tidak dapat menghasilkan Kiai. Melainkan menghasilkan orang yang setengah-setengah.

Seiring perkembangan zaman Pesantren Darul Rahman membuka dua cabang yaitu di Kampus Daarul Rahman II seluas 8,5  hektar di Kampung Jambu Desa Sibanteng Leuwiliang Bogor. Kampus Daarul Rahman III di Depok dengan sistem pendidikan SMP dan SMA plus.

Santri pesantren Daarul Rahman tidak terbatas dari Jakarta, mereka juga berasal dari seluruh penjuru tanah air, dari Sabang sampai Merauke, bahkan ada yang dari negeri Jiran, Malaysia. Kini tak kurang dari 1485 santri tengah belajar di Pesantren Daarul Rahman di pusat dan dua cabang.

Dalam usia ke 34 tahun, Ponpes Darul Rahman telah menghasilkan ribuan alumni. Kini di antara mereka telah berhasil dan membuka pesantren. Di antaranya Pesantren Qotrun Nada pimpinan KH. Drs. Burhanuddin Marzuki dan Pesantren Daarul Mughni Al-Maliki pimpinan KH. Mustofa Mughni.

Berdiri di tengah kota Jakarta, tak membuat Pesantren Daarul Rahman menjadi ekslusif. Para santri dan pimpinan pondok juga terlibat dan bergaul dengan masyarakat sekitar Senopati. Mereka biasa bekerja sama menyelenggarakan peringatan hari besar Islam dan kegiatan sosial kemasyarakatan lainnya. Hal ini tidak terlepas dari sosok KH. Syukron Makmun, yang selain pimpinan pesantren, sejak lama ia juga telah menjadi tokoh masyarakat.[]

Dipublikasi di Dunia Santri | Tag , | Meninggalkan komentar

Wakaf Uang, Investasi Akhirat yang Bernilai Produktif

Perkembangan ekonomi syariah di Indonesia dalam satu dasawarsa terakhir cukup pesat. Selain ditandai dengan menyeruaknya bank syariah dan asuransi syariah, belakangan wakaf juga kian populer di masyarakat. Salah satu produk wakaf yang kini tengah digalakkan yaitu wakaf uang. Bahkan, pada 8 Januari lalu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mencanangkan Gerakan Nasional Wakaf Uang.

Di Indonesia, wakaf uang dipelopori Badan Wakaf Indonesia (BWI), sebuah lembaga independen yang didirikan untuk mengembangkan perwakafan di Indonesia. Lembaga ini memiliki tugas dan wewenang untuk melakukan pembinaan nazhir (pengelola wakaf), regulator, maupun sebagai pengelola yang berskala nasional maupun internasional.

Sebelum membahas lebih jauh mengenai wakaf uang, ada baiknya kita mengetahui apa itu wakaf, serta rukun dan syaratnya. Secara etimologi, wakaf berasal dari perkataan Arab “Waqf” yang bererti “al-Habs”. Ia merupakan kata yang berbentuk masdar (infinitive noun) yang pada dasarnya berarti menahan, berhenti, atau diam. Apabila kata tersebut dihubungkan dengan harta seperti tanah, binatang dan yang lain, ia berarti pembekuan hak milik untuk faedah tertentu (Ibnu Manzhur: 9/359).

Sebagai satu istilah dalam syariah Islam, wakaf diartikan sebagai penahanan hak milik atas materi benda (al-‘ain) untuk tujuan menyedekahkan manfaat atau faedahnya (al-manfa‘ah) (al-Jurjani: 328). Sedangkan dalam buku-buku fiqh, para ulama berbeda pendapat dalam memberi pengertian wakaf. Perbedaan tersebut membawa akibat yang berbeda pada hukum yang ditimbulkan.

Namun, secara umum dari uraian para ulama,  wakaf bertujuan untuk memberikan manfaat atau faedah harta yang diwakafkan kepada orang yang berhak dan dipergunakan sesuai dengan ajaran syariah Islam. Hal ini sesuai dengan fungsi wakaf yang disebutkan pasal 5 UU no. 41 tahun 2004 yang menyatakan wakaf berfungsi untuk mewujudkan potensi dan manfaat ekonomis harta benda wakaf untuk kepentingan ibadah dan untuk memajukan kesejahteraan umum.

Adapun rukun wakaf ada empat. Pertama, orang yang berwakaf (al-waqif). Kedua, benda yang diwakafkan (al-mauquf). Ketiga, orang yang menerima manfaat wakaf (al-mauquf ‘alaihi). Keempat, lafadz atau ikrar wakaf (sighah).

Sedangkan syarat-syarat wakaf juga ada empat. Pertama, syarat-syarat orang yang berwakaf (al-waqif). Syarat-syarat al-waqif ada empat, pertama orang yang berwakaf ini mestilah memiliki secara penuh harta itu, artinya dia merdeka untuk mewakafkan harta itu kepada sesiapa yang ia kehendaki. Kedua dia mestilah orang yang berakal, tak sah wakaf orang bodoh, orang gila, atau orang yang sedang mabuk. Ketiga dia mestilah baligh. Dan keempat dia mestilah orang yang mampu bertindak secara hukum (rasyid). Implikasinya orang bodoh, orang yang sedang muflis dan orang lemah ingatan tidak sah mewakafkan hartanya.

Kedua, syarat-syarat harta yang diwakafkan (al-mauquf)Harta yang diwakafkan itu tidak sah dipindahmilikkan, kecuali apabila ia memenuhi beberapa persyaratan yang ditentukan oleh ah; pertama barang yang diwakafkan itu mestilah barang yang berharga Kedua, harta yang diwakafkan itu mestilah diketahui kadarnya. Jadi apabila harta itu tidak diketahui jumlahnya (majhul), maka pengalihan milik pada ketika itu tidak sah. Ketiga, harta yang diwakafkan itu pasti dimiliki oleh orang yang berwakaf (wakif). Keempat, harta itu mestilah berdiri sendiri, tidak melekat kepada harta lain (mufarrazan) atau disebut juga dengan istilah (ghaira shai’).

Ketiga, syarat-syarat orang yang menerima manfaat wakaf (al-mauquf alaih) Dari segi klasifikasinya orang yang menerima wakaf ini ada dua macam, pertama tertentu (mu’ayyan) dan tidak tertentu (ghaira mu’ayyan). Yang dimasudkan dengan tertentu ialah, jelas orang yang menerima wakaf itu, apakah seorang, dua orang atau satu kumpulan yang semuanya tertentu dan tidak boleh dirubah. Sedangkan yang tidak tentu maksudnya tempat berwakaf itu tidak ditentukan secara terperinci, umpamanya seseorang sesorang untuk orang fakir, miskin, tempat ibadah, dll. Persyaratan bagi orang yang menerima wakaf tertentu ini (al-mawquf mu’ayyan) bahwa ia mestilah orang yang boleh untuk memiliki harta (ahlan li al-tamlik), Maka orang muslim, merdeka dan kafir zimmi yang memenuhi syarat ini boleh memiliki harta wakaf. Adapun orang bodoh, hamba sahaya, dan orang gila tidak sah menerima wakaf. Syarat-syarat yang berkaitan dengan ghaira mu’ayyan; pertama ialah bahwa yang akan menerima wakaf itu mestilah dapat menjadikan wakaf itu untuk kebaikan yang dengannya dapat mendekatkan diri kepada Allah. Dan wakaf ini hanya ditujukan untuk kepentingan Islam saja.

Keempat, syarat-syarat Shigah Berkaitan dengan isi ucapan (sighah) perlu ada beberapa syarat. Pertama, ucapan itu mestilah mengandungi kata-kata yang menunjukKan kekalnya (ta’bid). Tidak sah wakaf kalau ucapan dengan batas waktu tertentu. Kedua, ucapan itu dapat direalisasikan segera (tanjiz), tanpa disangkutkan atau digantungkan kepada syarat tertentu. Ketiga, ucapan itu bersifat pasti. Keempat, ucapan itu tidak diikuti oleh syarat yang membatalkan. Apabila semua persyaratan diatas dapat terpenuhi maka penguasaan atas tanah wakaf bagi penerima wakaf adalah sah. Pewakaf tidak dapat lagi menarik balik pemilikan harta itu telah berpindah kepada Allah dan penguasaan harta tersebut adalah orang yang menerima wakaf secara umum ia dianggap pemiliknya tapi bersifat ghaira tammah.

Memahami Wakaf Uang
Istilah wakaf uang belum dikenal di zaman Rasulullah. Wakaf uang (cash waqf ) baru dipraktekkan sejak awal abad kedua hijriyah. Imam az Zuhri (wafat 124 H) salah seorang ulama terkemuka dan peletak dasar tadwin al-hadits memfatwakan, dianjurkan wakaf dinar dan dirham untuk pembangunan sarana dakwah, sosial, dan pendidikan umat Islam. Di Turki, pada abad ke 15 H praktek wakaf uang telah menjadi istilah yang familiar di tengah masyarakat. Wakaf uang biasanya merujuk pada cash deposits di lembaga-lembaga keuangan seperti bank, dimana wakaf uang tersebut biasanya diinvestasikan pada profitable business activities. Keuntungan dari hasil investasi tersebut digunakan kepada segala sesuatu yang bermanfaat secara sosial keagamaan.

Pada abad ke 20 mulailah muncul berbagai ide untuk meimplementasikan berbagai ide-ide besar Islam dalam bidang ekonomi, berbagai lembaga keuangan lahir seperti bank, asuransi, pasar modal, institusi zakat, institusi wakaf, lembaga tabungan haji dll. Lembaga-lembaga keuangan Islam sudah menjadi istilah yang familiar baik di dunia Islam maupun non Islam.

Dalam tahapan inilah lahir ide-ide ulama dan praktisi untuk menjadikan wakaf uang salah satu basis dalam membangun perkonomian umat. Dari berbagai seminar, yang dilakukan oleh masyarakat Islam, maka ide-ide wakaf uang ini semakin menggelinding. Negara- negara Islam di Timur Tengah, Afrika, dan Asia Tenggara sendiri memulainya dengan berabagai cara.

Di Indonesia, sebelum lahirnya UU No. 41 tahun 2004, Majelis Ulama Indonesia telah mengeluarkan fatwa tentang Wakaf Uang, (11/5/2002).  Fatwa tersebut menegaskan, pertama, Wakaf Uang (Cash Wakaf/Wagf al-Nuqud) adalah wakaf yang dilakukan seseorang, kelompok orang, lembaga atau badan hukum dalam bentuk uang tunai.

Kedua, termasuk ke dalam pengertian uang adalah surat-surat berharga. Ketiga, Wakaf uang hukumnya jawaz (boleh). Keempat, wakaf uang hanya boleh disalurkan dan digunakan untuk hal-hal yang dibolehkan secara syar’i. Kelima., nilai pokok Wakaf Uang harus dijamin kelestariannya, tidak boleh dijual, dihibahkan, dan atau diwariskan.

Ihwal diperbolehkannya wakaf jenis ini, ada beberapa pendapat yang memperkuat fatwa tersebut. Pertama, pendapat Imam al-Zuhri (w. 124H.) bahwa mewakafkan dinas hukumnya boleh, dengan cara menjadikan dinar tersebut sebagai modal usaha kemudian keuntungannya disalurkan pada mauquf ‘alaih (Abu Su’ud Muhammad. Risalah fi Jawazi Waqf al-Nuqud, [Beirut: Dar Ibn Hazm, 1997], h. 20-2 1).

Kedua, mutaqaddimin dari ulaman mazhab Hanafi (lihat Wahbah al-Zuhaili, al Fiqh al-Islam wa Adillatuhu, [Damsyiq: Dar al-Fikr, 1985], juz VIII, h. 162) membolehkan wakaf uang dinar dan dirham sebagai pengecualian, atas dasar Istihsan bi al-‘Urfi, berdasarkan atsar Abdullah bin Mas’ud r.a: “Apa yang dipandang baik oleh kaum muslimin maka dalam pandangan Allah adalah baik, dan apa yang dipandang buruk oleh kaum muslimin maka dalam pandangan Allah pun buruk”.

Ketiga, pendapat sebagian ulama mazhab al-Syafi’i: “Abu Tsyar meriwayatkan dari Imam al-Syafi’i tentang kebolehan wakaf dinar dan dirham (uang)”. (al-Mawardi, al-Hawi al-Kabir, tahqiq Dr. Mahmud Mathraji, [Beirut: Dar al-Fikr,1994[, juz IX,m h. 379).

Mengapa Harus Wakaf Uang?
Pertama, siapapun bisa. Kini, orang yang ingin wakaf tidak harus menunggu menjadi kaya. Minimal Rp. 1.000.000 (satu juta rupiah), anda sudah bisa menjadi wakif (orang yang berwakaf), dan mendapat Sertifikat Wakaf Uang.

Kedua, jaringan luas. Kapan pun dan di manapun anda bisa setor wakaf uang. Mudah bukan? Sebab, BWI telah bekerjasama dengan Lembaga Keuangan Syariah untuk memudahkan penyetoran.

Ketiga, uang tak berkurang. Dana yang diwakafkan, sepeser pun, tidak akan berkurang jumlahnya. Justru sebaliknya, dana itu akan berkembang melalui investasi yan dijamin aman, dengan pengelolaan secara amanah, bertangung jawab, professional, dan transparan.

Keempat, manfaat berlipat. Hasil investasi dana itu akan bermanfaat untuk peningkatan prasarana ibadah dan sosial, serta kesejahteraan masyarakat (social benefit).

Kelima,  investasi akhirat. Manfaat yang berlipat itu menjadi pahala wakif yang terus mengalir, meski sudah meninggal, sebagai bekal di akhirat. [] Disarikan dari http://www.bwi.or.id.

Dipublikasi di Ekonomi Syariah | Tag , , | Meninggalkan komentar

KH Achmad Siddiq, Sang Arsitek Khittah NU

Ia sosok ulama yang cerdas, sabar, tenang, berwawasan luas, serta memiliki kejernihan pikiran dan spiritual. Kiprahnya di Nahdlatul Ulama sangat penting. Dialah yang meng-arsiteki penerimaan NU terhadap Pancasila sebagai asas tunggal pada 1983 sekaligus mengakhiri debat panjang agama versus negara di kalangan Nahdlyin. Dia pula tokoh yang menjadi penggagas sekaligus konseptor kembalinya NU ke Khittah 1926 pada Muktamar 1984. Tak heran, almarhum KH Abdurrahman Wahid menyebutnya sebagai sosok mulia, yang mampu menahkodai NU di saat-saat yang genting diterpa badai dan mengembalikan NU ke khittah asalnya.

Anda tentu masih ingat polemik seputar asas tunggal Pancasila yang sempat menggegerkan organisasi massa Islam pada pertengahan 1980-an silam. Kebijakan pemerintah Orde Baru itu, secara umum mendapat reaksi keras dari umat Islam, termasuk para alim ulama dari Nahdlatul Ulama (NU). Tapi, bagaimana bisa NU yang awalnya bereaksi keras, dalam waktu singkat bisa menerima Pancasila sebagai asas tunggal, bahkan sebelum kebijakan itu resmi diundangkan pada 1985?

Konon, seperti terekam dalam buku Menapak Jejak Mengenal Watak Sekilas Biografi 26 Tokoh Nahdlatul Ulama, langkah progresif itu tak lepas dari peran yang dimainkan KH Achmad Siddiq dari Jember, Jawa Timur. Kiai Achmad, demikian ia akrab disapa, adalah orang yang berhasil meyakinkan ratusan ulama NU yang berkumpul di Pesantren Salafiyah Syafiiah, Sukorejo, pada 18-20 Desember 1983, untuk menerima Pancasila sebagai asas organisasi.

Di forum Musyawarah Nasional Nahdlatul Ulama itu, berbekal makalah setebal 34 halaman, Kiai Achmad menjelaskan duduk soal Pancasila dan mengapa NU harus menerima asas tersebut. Ia tak berapologi, cukup dengan mengungkapkan berbagai argumentasi dasar dan argumentasi historis dari babak sejarah umat Islam di Indonesia. “Pancasila dan Islam adalah hal yang dapat sejalan dan saling menunjang. Keduanya tidak bertentangan dan jangan dipertentangkan,” kata Kiai Achmad.

“NU menerima Pancasila berdasar pandangan syari’ah. Bukan semata-mata berdasar pandangan politik. Dan NU tetap berpegang pada ajaran aqidah dan syariat Islam. Ibarat makanan, Pancasila itu sudah kita makan selama 38 tahun, kok baru sekarang kita persoalkan halal dan haramnya,” katanya setengah bergurau, tapi diplomatis.

Hasilnya bisa ditebak, ratusan kiai kini berbalik mendukung Pancasila sebagai satu-satunya asas organisasi. Peristiwa itu menandai sebuah babak baru dalam perjalanan NU sebagai organisasi massa Islam yang pertama kali menerima asas tunggal, bahkan sebelum resmi diundangkan pada 1985. Secara sistematis keputusan menerima Pancasila sebagai asas tunggal, dirumuskan dalam Deklarasi tentang Hubungan Pancasila dan Islam, yang terdiri dari lima poin.

Pertama, Pancasila sebagai dasar dan falsafah negara Republik Indonesia bukanlah agama, dan tidak dapat menggantikan agama dan tidak dapat dipergunakan untuk menggantikan agama. Kedua, sila Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai dasar negara Republik Indonesia menurut Pasal 29 ayat 1 UUD 1945, yang menjiwai sila-sila yang lain, mencerminkan tauhid menurut pengertian keimanan dalam Islam.

Ketiga, bagi NU, Islam adalah aqidah dan syari’ah, meliputi aspek hubungan manusia dengan Allah dan hubungan antarmanusia. Keempat, penerimaan dan pengamalan Pancasila merupakan perwujudan dari upaya umat Islam Indonesia untuk menjalankan syariat agamanya. Kelima, sebagai konsekuensi dari sikap di atas, NU berkewajiban mengamankan pengertian yang benar tentang Pancasila dan pengamalannya yang murni dan konsekuen oleh semua pihak.

Pemikiran Kiai Achmad yang kemudian menjadi deklarasi itu, rupanya dilatari dua landasan, yaitu historis dan hukum. Secara historis umat Islam tidak pernah absen dalam menolak penjajahan dan menegakkan serta mengisi kemerdekaan. Sejak awal umat Islam berada di garda terdepan mengusir penjajah.
Sementara secara hukum, Allah SWT mewajibkan amar ma’ruf nay munkar bagi umat manusia. Kewajiban itu tentu saja tidak dapat dilakukan tanpa adanya kekuatan dan imamah yang kuat dan mendukung. Atas dua landasan inilah maka mendukung negara Pancasila menjadi wajib hukumnya sebagai konsekuensi dari perjuangan yang dilakukan oleh umat Islam di masa lalu.

Kiai Achmad menegaskan, konsekuensi lain dari penerimaan asas tunggal Pancasila adalah menerima wujud negara Republik Indonesia dengan Pancasila sebagai dasarnya merupakan upaya final seluruh bangsa terutama kaum Muslimin untuk mendirikan negara di wilayah Nusantara. Dengan begitu, Kiai Achmad berhasil mendamaikan perdebatan antara agama dan negara, khususnya di kalangan kaum Nahdliyin.

Seiring diterimanya Pancasila sebagai asas organisasi, nama Kiai Achmad pun kian melejit menjadi bintang Munas.  Tak heran, dalam Muktamar NU ke 27 di Situbondo, setahun kemudian, Kiai Achmad Siddiq terpilih sebagai Ro’is Aam PBNU berpasangan dengan KH. Abdurrahman Wahid sebagai Ketua Umum Tanfidziahnya.

Duet Kiai Achmad dan Gus Dur tenyata mampu mengangkat pamor NU ke permukaan. Beberapa kali NU bisa selamat ketika menghadapi setiap persoalan besar dan pelik berkat kepemimpinan keduanya. Semisal goncangan, ketika Kiai As’ ad yang kharismatik mengguncang NU dengan sikap mufaroqohnya terhadap kepemimpinan Gus Dur. Dalam Munas NU di cilacap tahun 1987, Kiai As’ad menginginkan Gus Dur dijadikan agenda Munas, dan diganti. Namur demikian, Kiai Achmad Siddiq dan Kiai Ali Ma’shum tampil membelanya.

Kiai Achmad dalam posisi sulit dan menentukan itu mampu meyakinkan warga NU untuk tetap kukuh dengan khittah NU 1926. Pada Muktamar ke-28 di Yogyakarta pada tahun 1989 Kiai Achmad menegaskan pendiriannya tentang Khittah. “NU ibarat kereta, api, bukan taksi yang bisa, dibawa, sopirya, ke mana, saja. Rel NU sudah tetap”, ujarnya bertamsil. Dengan tamsil ini pula Muktamar Yogyakarta dapat mempertahankan duet Kiai Achmad dengan Gus Dur.

Arsitek Khittah 1926
Di forum Munas Situbondo 1983, gagasan yang diarsiteki Kiai Achmad agar NU kembali ke khittah 1926 juga disepakati menjadi keputusan resmi organisasi, yang kemudian dikuatkan menjadi keputusan resmi pada Muktamar setahun kemudian, 1984. Dalam buku Menapak Jejak Mengenal Watak Sekilas Biografi 26 Tokoh Nahdlatul Ulama diceritakan, konsep kembali ke Khittah 1926 yang mencuat dan dikenal masyarakat luas menjelang berlangsungnya Munas Alim Ulama tahun 1983. Tapi, sebenarnya jauh hari sebelum itu, KH Achmad Siddiq sudah mengintroduksi dasar-dasar pemikiran Khittah Nahdliyyah. Pada 1979, ia menyusun pokok-pokok pikiran tentang Khittah Nahdliyyah sebagai sumbangan berharga bagi warga NU.

Adapun rumusan Khittah 1926 hasil Munas Situbondo 1983 sendiri yaitu, pertama, mengembalikan aktivitas NU dari bidang politik ke bidang asalnyam yakni bidang dakwah, pendidikan, dan sosial. Terlalu lama NU bekecimpung di dunia politik praktis, sejak 1955-1982, hingga garapan pokoknya sendiri terbengkalai. Kedua, menyerahkan sepenuhnya kepada warga NU dalam menyalurkan aspirasi politiknya, apakah ke Golkar, PPP, maupun PDI, waktu itu yang memang dipandang baik dan tidak bertentangan dengan Islam.

Ketiga, membenahi organisasi, setelah terperangkap dalam kemelut intern sesuai Munas Alim Ulama di Kali Urang, Yogyakarta, 1981, yang melahirkan dua kubu yaitu Cipete dan Situbondo. Pembenahan bidang ini kemudian terbukti dengan terjadinya rekonsiliasi 10 September 1984 di kediaman KH Hasyim Latif, Sepanjang, Sidoarjo. Faedah lain dari Khittah 1926, yaitu mengangkat peran ulama dalam lembaga, seperti Mustasyar dan Syuriah, sebagai lembaga tertinggi dalam kepemimpinan NU.

Sosok Mulia dari Jember
Almarhum KH Abdurrahman Wahid dalam salah satu artikelnya di Kompas, Sabtu, 26 Januari 1991, berjudul In Memoriam Kiai Achmad Siddiq menggambarkan sosok Kiai Achmad sebagai orang mulia, yang dengan berbagai keterbatasan dan kekurangannya dapat meriah ketinggian yang tak dapat dicapai oleh mereka yang lebih kuat. Bahkan, dengan kelemahannya pula ia justru mampu menahkodai NU kembali kepada khittah asalnya.

Kiai Haji Achmad Siddiq lahir di Jember pada Ahad Legi 10 Rajab 1344  atau bertepatan dengan tanggal 24 Januari 1926.  Kiai  Achmad adalah putra bungsu Kiai Siddiq dari lbu Nyai H. Zaqiah (Nyai Maryam) binti KH. Yusuf. Dalam usia yang relatif kecil ia telah menjadi yatim piatu. Abahnya meninggal ketika usianya 8 tahun dan sebelumnya, pada usia  4 tahun, ibu kandungnya lebih dulu wafat di tengah perjalanan pulang dari Mekkah usai menunaikan ibadah haji.

Dalam usia kanak-kanak, Kiai Achmad sudah yatim piatu. Karena itu, Kiai Mahfudz Siddiq, kakak kandungnya, menjadi pengasuhnya menggantikan kedua orang tuanya. Sedangkan Kiai Halim Siddiq mengasuh Abdullah, yang masih berumur  10 tahun. Dalam asuhan sang kakak, Kiai Achmad tumbuh mewarisi sifat dan gaya berfikir kakaknya, Kiai Mahfudz Siddiq. Ia dikenal berwatak sabar, tenang, dan sangat cerdas. Wawasan berfikirnya amat luas baik dalam ilmu agama maupun pengetahuan umum.

Pendidikan agama awal Kiai Achmad diperoleh dari abahnya sendiri, Kiai Siddiq. Kiai Siddiq sebagaimana uraian-uraian sebelumnya, dalam mendidik terkenal sangat ketat, terutama dalam hal sholat. Beliau wajibkan semua putra-putranya sholat berjama’ah 5 waktu. Selain mengaji pada abahnya, Kiai Achmad juga banyak menimba ilmu dari kakaknya, Kiai Machfudz. Dari dia Kiai Achmad banyak belajar kitab kuning aneka disiplin.

Usai mendapatkan pendidikan di lingkungan keluarganya, Kiai Achmad dikirim ke pesantren yang ketika itu sangat masyhur, Tebuireng, asuhan Kiai Hasyim As’ari. Di Tebuireng, Kiai Hasyim melihat potensi kecerdasan pada Kiai Achmad. Maka, ia dan beberaa anak kiai lainnya sengaja disatukan dalam satu kamar khusus. Cara ini dlakukan agar mereka dapat dikader sebagai ulama secara lebih ketat dibanding santri lainnya. Karena mereka akan mewarisi kepemimpinan pesantren di daerahnya masing-masing.

Kepribadian yang dimiliki Kiai Achmad, sebagaimana telah disinggung, dikenal tenang dan cerdas. Tak heran jika teman-temannya sangat segan kepadanya. Selain tenang, gaya bicaranya juga khas dan memikat, sehingga dalam setiap khitobah, banyak santri yang mengaguminya. Kepribadian yang unggul itu ditambah lagi dengan kebiasaan Kiai Achmad yang senang membaca kitab. Ia pun menjadi sosok yang dikagumi.

Di usia yang relatif muda, ia telah memegang ilmu tuwo. Jangankan teman sekelas, guru yang mengajar pun segan kepadanya. Hanya ada satu santri yang berani menggodanya, yaitu Abdul Muchit Muzadi, adik kelasnya yang kelak menjadi sekretaris pribadinya. Sejak saat itu Kiai Achmad berkawan dengan Kiai Muchith Muzadi. Selain pernah menjadi sekretaris pribadi, Kiai Muchit juga kelak menjadi mitra diskusinva dalam merumuskan konsep-konsep strategis ke-NU-an, seperti buku Khittah Nandliyah dan  Fikroh Nandliyah.

Berkat kecerdasan dan kepiawaiannya berpidato, Kiai Achmad sangat dekat dengan Kiai Wahid Hasyim. Kiai Wahid membimbing Kiai Achmad dalam Madrasah Nidzomiyah. Perhatian Gus Wahid pada Achmad sangat besar. Gus Wahid juga mengajar ketrampilan mengetik dan membimbing pembuatan konsep-konsep. Hubungan mereka pun kian dekat.

Kedekatan hubungan itu berlanjut. Bahkan ketika Kiai Wahid Hasyim memegang jabatan ketua MIAI, Ketua NU, dan Menteri Agama, Kiai Achmad juga yang dipercaya sebagai sekretaris pribadinya. Dengan pengalaman di Tebuireng dan pergaulannya itu, Kiai Achmad Siddiq tidak hanya mereguk ilmu KH. Hasyim Asy’ari, tapi juga ilmu dan bimbingan Kiai Wachid Hasyim.

Usai nyantri, Kiai Achmad menikah dengan Nyai H. Sholihah binti Kiai Mujib pada tanggal 23 Juni 1947, dan dikaruniai 5 orang anak, yaitu: KH. Mohammad Farid Wajdi (Jember), Drs. H. Mohammad Rafiq Azmi (Jember), Hj. Fatati Nuriana (istri Mohammad Jufri Pegawai PEMDA Jember), Mohammad Anis Fuaidi (wafat kecil), dan KH. Farich Fauzi (pengasuh pondok pesantren Al-Ishlah Kediri).

Nyai Sholihah tidak berumur panjang, Allah memanggilnya ketika putra-putrinya masih kecil. Sehingga keempat anaknya itu diasuh oleh Nyai Hj. Nihayah, adik kandung ketiga Nyai Sholihah. Melihat eratnya hubungan anak-anak dengan bibinya, maka Nyai Zulaikho, kakaknya, kemudian mendesak Kiai Achmad agar melamar Nihayah. Dan Kiai Mujib pun menerima lamaran tersebut.

Pernikahan Kiai Achmad Siddiq dengan Nyai Hj. Nihayah binti KH. Mujib, Tulung Agung, memnpunyai 8 orang putra, yaitu: Asni Furaidah,  Drs. H. Moh. Robith Hasymi (Jember), Ir. H. Mohammad Syakib Sidqi (Dosen di Sumatra Barat), H. Mohammad Hisyarn Rifqi (suami Tahta Alfina Pagelaran, Kediri), Ken Ismi Asiati Afrik Rozana, BA (istri Drs. Nurfaqih, guru SMA Jember), Dra. Nida, Dusturia (istri Tijani Robert Syaifun Nuwas bin Kiai Hamim Jazuli), H. Mohammad Balya Firjaun Barlaman (pengasuh PP. Al Falah Ploso Kediri), dan Mohammad Muslim Mahdi yang wafat ketika usianya masih belia.

Berjuang dan Mengabdi
Sebagai santri yang bergulat dengan aneka problem yang dihadapi masyarakatnya, Kiai Achmad tak bisa berdiri di menara gading pesantren tanpa terlibat dalam masalah kemasyarakatan. Sejak tamat belajar di Tebuireng, Kiai Achmad memang kemudian banyak terlibat dalam berbagai organisasi kemasyarakatan. Ia mengawali karir politiknya di Gabungan Pemuda Islam Indonesia (GPII) Jember. Di organisasi ini karirnya terbilang moncer, ia masuk hingga kepengurusan tingkat Jawa Timur. Pada Pemilu 1955, Kiai Achmad terpilih sebagai anggota DPR Daerah sementara di Jember.

Masa-masa pengabdiannya merupakan masa mempertahankan kemerdekaan Indonesia 1945. Dalam karir perjuangan ia mengawali dengan menjadi pejabat Badan Executive Pemerintah Jember, bersama A Latif Pane (PNI), P. Siahaan (PBI), dan Nazarudin Lathif (Masyumi). Selain itu, Kiai Achmad juga berjuang di pasukan Mujahidin (PPPR) pada tahun 1947. Saat itu Belanda. melakukan Agresi Militer yang pertama. Belanda merasa kesulitan membasmi PPPR, karena anggotanya adalah para Kiai. Agresi tersebut kemudian menimbulkan kecaman internasional terhadap Belanda sehingga muncullah Perundingan Renville.

Sebagai konsekuensinya perjanjian Renville, maka pejuang-pejuang di daerah kantong, termasuk Jember, harus hijrah. Para pejuang dari Jember kebanyakan mengungsi ke Tulung Agung. Di sanalah Kiai Achmad mempersiapkan pelarian bagi para pejuang yang mengungsi tersebut.

Pengabdiannya di ranah pemerintahan dimulai sebagai kepala Kantor Urusan Agama (KUA) di Situbondo. Saat itu di Departemen Agama dikuasai oleh tokoh-tokoh NU. Menteri Agama adalah KH. Wahid Hasyim (NU). Dan karirnya di pemerintahan melonjak cepat. Dalam waktu singkat, Kiai Achmad Siddiq menjabat sebagai Kepala Kantor Wilayah Departemen Agama di Jawa Timur.

Di NU sendiri, karir Kiai Achmad bermula di Jember. Dalam waktu relatif singkat, Kiai Achmad sudah aktif di kepengurusan tingkat wilayah Jawa Timur. Di NU Jawa Timur saat itu ada dua orang bani Siddiq yaitu: Kiai Achmad dan Kiai Abdullah (kakaknya). Bahkan pada Konferensi NU wilayah berikutnya, pasangan kakak beradik tersebut dikesankan saling bersaing dan selanjutnya Kiai Achmad Siddiq muncul sebagai ketua wilayah NU Jawa Timur.

Tetapi Kiai Achmad merasa tidak puas dengan kiprahnya selama ini. Panggilan suci untuk mengasuh pesantren peniinggalan Kiai Siddiq menuntut kedua Siddiq tersebut mengadakan komitmen bersama. Keputusannya adalah Kiai Abdullah Siddiq lebih menekuni pengabdian di NU Jawa Timur, sedangkan Kiai Achmad Siddiq mengasuh pondok pesantrennya.

Sejak tahun 1971, Kiai Achmad kembali aktif memimpin pesantren Ash-Shiddiqiyah, di tanah kelahirannya, Jember. Seiring memipin pesantren, ia juga menggelar pengajian bagi masyarakat umum. Pengajian itu diarahkan pada upaya mendekatkan masyarakat pada agama melalui tasawuf. Kelak pengajian yang dirintisnya itu dikenal dengan Pengajian Dzikrul Ghafilin yang jamaahnya tersebar di berbagai kota dan penjuru tanah air.

Dari pesantren, ia juga masih memikirkan masa depan NU. Maka, ia pun dengan dibantu Kiai Abdul Muchit Muzadi menulis risalah mengenai Khittah Nahdliyah. Risalah itu kelak menjadi tonggak bagi kembalinya NU ke khittah pada 1984. Kendati di pesantren, ia terlibat dalam berbagai wacana nasional. Seperti disinggung di awal ketika pemerintah menerapkan Pancasila sebagai asas tunggal bagi semua organisasi, maka ia tampil membawa solusi yang dapat diterima para ulama.

Ketika NU tengah galau dan carut marut karena politik praktis, Kiai Achmad kembali tampil membawa gagasan kembali ke khittah 1926 dan menanggalkan dunia politik praktis. Dari sana, pada Muktamar di Situbondo 1984, kiprahnya dibutuhkan NU, maka ia pun dipercaya menjadi Rais Aam PBNU, berduet bersama KH Abdurrahman Wahid yang menjadi Ketua Umum Tanfidziah.

Menghadap Sang Khaliq
Ia masih aktif di NU kendati kondisi kesehatannya kian menurun. Usai Muktamar di Yogyakarya, Kiai Achmad menderita sakit Diabetes Melitus. Ia pun dilarikan ke RS. Dr. Sutomo, Surabaya. “Tugasku di NU sudah selesai,” kata Kiai Achmad pada rombongan PBNU yang membesuknya. Ternyata isyarat itu benar. Pada 23 Januari 1991, Kiai Achmad Siddiq wafat. Rais Aam PBNU yang berwajah sejuk itu menanggalkan beberapa jabatan penting, seperti anggota Dewan Pertimbangan Agung dan anggota Badan Pertimbangan Pendidikan Nasional.

Berdasarkan wasiatnya, KH Achmad Siddiq dimakamkan di kompleks makam Auliya, Tambak Mojo, Kediri. “Aku senang di sini. Besok kalau aku mati dikubur sini saja,” begitu wasiat Kiai Achmad pada istri dan anak-anaknya. Ribuan orang bertakziah atas wafatnya Kiai Achmad Siddiq yang disemayamkan di rumah duka, kompleks Pesantren Ashtra, Talangsari. Esok harinya, sekitar seratus mobil beriring-iringan mengantarkan Sang Kiai ke Makam Aulia.

Kini, Kiai Achmad dikenang sebagai salah satu tokoh utama NU. Warisan perjuangannya, dari khittah hingga pengajian-pengajian tasawuf yang dibinanya, terus diingat dan dipelihara. Atas jasa-jasanya, pemerintah menganugerahi Kiai Achmad Bintang Mahaputrera Nararya. Wallahu a’lam. [] berbagai sumber.

Dipublikasi di Dunia Kiai | Tag , , , | Meninggalkan komentar

Dilema Sinetron Religius

MENJAMURNYA sinetron religi pada kurun terakhir ini memberi warna tersendiri dalam kancah entertainment kita. Namun arus deras religiusitas di dunia hiburan ini menyimpan tanda tanya besar. Pasalnya industri hiburan identik dengan life style yang glamour. Sedangkan agama mengandaikan sesuatu yang suci. Dua hal yang saling bertentangan ini dikawinkan dalam bentuk sinetron, maka lahirlah sinetron religi. Seperti apa sebenarnya kedua hal ini, sehingga kita patut curiga ? Artikel ini secara spesifik akan membahas perselingkuhan keduanya.

Sebagai bagian dari industri hiburan, sinetron memiliki ciri yang khas. Sentuhannya yang langsung mengena kehidupan sehari-hari, mendapat tempat tersendiri di relung kalbu masyarakat. Sinetron umumnya mengikuti trend yang sedang aktual. Sebagai contoh, percintaan remaja, kehidupan glamour dan mistik. Tema-tema tersebut silih berganti menjadi main stream sinetron kita. Dan berkat dialektika sinetron inilah, akhirnya kehidupan keagamaan menjadi tema yang laris manis.

Berawal dari kisah sukses program sinetron Rahasia Ilahi di TPI -sebuah program sinetron yang terinspirasi oleh kehidupan nyata yang ditulis di majalah Hidayah- yang telah mendongkraknya menjadi stasiun televisi nomor wahid. Selanjutnya, stasiun televisi lain pun tak urung menayangkan sinetron bertema serupa. Muncullah sinetron “Astagfirullah” (SCTV), “Taubat” (Trans TV) dan “Azab Ilahi” (Lativi). Akhirnya agama menjadi tema yang laku untuk dijual.

Pertanyaannya kemudian adalah apakah ini bagian dari keseriusan pengelola televisi dalam menghadirkan hiburan yang edukatif, atau justru hanya karena ingin mengeruk keuntungan, mengingat kiblat pasar sedang berpihak kepada agama? Tentu saja jawabanya sangat beragam menurut subyektif masing-masing. Menurut penulis ini adalah semata bagian dari dialektika pasar. Kebetulan saja agama ketiban untung, menjadi mainstream hiburan kita.

Ada beberapa hal yang patut kita ungkap di belakang hiburan bernama sinetron religi. Pertama, kepentingan para pemodal yang bertaruh di industri hiburan. Kalau kita perhatikan, perilaku para pemodal atau dalam hal ini para pemilik publishing house dan pengelola televisi, dalam membuat sinetron, yang mereka perhatikan bukan kualitas hiburan atau efeknya di masyarakat. Tapi, yang mereka perhatikan adalah menguntungkan atau tidak produk yang mereka buat. Pertimbangan yang lazim di dunia usaha, termasuk publishing house adalah seberapa luas pangsa pasar suatu produk. Kalau dinilai luas alias digandrungi masyarakat, maka produksi jalan. Ini berlaku untuk semua jenis sinetron, termasuk di dalamnya sinetron religi.

Mereka sama sekali tidak mempertimbangakan nilai-nilai moral dan agama. Yang mereka perhatikan hanya keuntungan, meskipun harus merusak moralitas masyarakat. Bagaimana kalau moral dan agama menguntungkan? Sesuai dengan pijakannya, maka tak luput mereka pun langsung ambil bagian dan berlindung dibalik tameng sinetron religi. Kondisi demikian menguntungkan bagi mereka, karena inilah ajang untuk menunjukkan simpati terhadap agama. Parahnya tak sedikit public yang tertipu oleh indahnya layar sinetron religi. Padahal ini adalah tameng saja yang kebetulan sedang ngetrend.

Kedua, kualitasnya isinya dalam beberapa hal jauh dari ajaran agama alias menyimpang. Indikasi ini terlihat dari pendramatisasian tokoh antagonis yang berlebihan. Penggambaran syetan atau jin dengan seorang yang buruk rupa memakai asesoris tanduk, gigi taring dan darah yang keluar dari mulutnya. Contoh kasus yang lain yaitu keadaan seseorang di alam kubur seolah dapat diketahui, bahkan kuburannya dibuka dan terlihat si mayat yang terbakar kepanasan sedang disiksa. Belum lagi, kisah orang yang telah mati lalu hidup kembali dengan rupa dan tingkah yang berbeda jauh dari keadaannya dalam kehidupannya dulu. Uniknya lagi, setiap acara tidak pernah luput dari kuburan. Di sini kuburan menjadi sesuatu yang wajib, sehigga terbentuk citra Islam itu identik dengan kuburan. Pendramatisasian kisah-kisah yang berlebihan tersebut dan penyertaan kuburan dalam setiap acara, memicu ketakutan bagi sebagian orang, sehingga ini akan menimbulkan syirik dalam bentuk yang baru. Tak beda dengan acara yang muncul sebelumnya seperti, Pemburu Hantu, dan tayangan mistis sejenisnya.

Ketiga, adegan film ini banyak yang mempertontonkan aurat. Alasannya mungkin untuk menggambarkan keadaan yang sesungguhnya bagi si tokoh. Sebagai contoh untuk menggambarkan perilaku kebejatan si tokoh yang mantan pelacur. Adegan dan perilaku yang persis pelacur pun dipertontonkan; sosok perempuan dengan pakaian minim yang sedang bercumbu mesra, sambil menenggak minuman keras. Padahal si aktris tayangan itu muslimah, dan mirisnya lagi setiap acara itu ada juru nasehatnya. Pertanyaan yang muncul kemudian apakah si ustad pemangku acara itu tidak risih terlibat dalam acara dengan adegan yang demikian? Bukankah yang dipertontonkan bertentangan dengan dakwah yang ia sampaikan. Alih-alih ingin mengajak orang kepada kebaikan agama malah mendukung kemaksiatan yang ditentang agama.

Sampai disini, kecurigaan pun muncul, mengapa para pengkhotbah agama mau terlibat dalam acara nista seperti tersebut diatas? Mungkin karena iming-iming amplop yang besar, jauh lebih besar dibanding ceramah di masjid, kemudian popularitas pun akan semakin menanjak, sehingga mereka rela sedikit mengorbankan dakwahnya. Jika demikian pantaskah mereka disebut ustad? Terserah pembaca.

Keempat, nilai dakwah hilang. Dengan mempertontonkan adegan dan dramatisasi yang berlebihan seperti tersebut diatas maka nilai dakwah yang disampaikan menjadi absurd. Meskipun jika kita bersikap khusnudzoh, barangkali niat mereka baik untuk berdakwah. Tetapi, karena caranya yang salah, maka niatnya menjadi percuma. Dan oleh sebab itu, acara sinetron religius perlu ditinjau ulang. Dalam hal ini perlu diingat bahwa membawa agama ke dalam ranah hiburan yang sangat pragmatis itu sangat sensitif. Bukan tidak mungkin, jika akhirnya agama hanya menjadi alat bagi para pemodal untuk mengeruk keuntungan sebesar-besarnya. Akhirnya tayangan yang menyebut dirinya bernuansa religius ini menjadi menyesatkan dan membodohi masyarakat. Jika sudah kontra produktif bagi agama, untuk apa dipertahankan.

Melihat kekurangan tayangan tersebut, maka sudah saatnya para pengelola stasiun televisi dan production huose, meninjau ulang dan memperbaikinya sehingga dakwah tidak dikorbankan oleh pasar. Dengan begitu, televisi turut memberikan hiburan yang edukatif bagi masyarakat. Bukankah ini sesuai dengan fungsi televisi sebagai media informasi dan pendidikan. Semoga.

** Versi pertama tulisan ini dimuat di Majalah Sabili Edisi Oktober 2005

Dipublikasi di Layar | Tag , , , , , | Meninggalkan komentar

KH. Bisri Musthofa (1915-1977) Orator Ulung yang Produktif Menulis

Kiai Bisri Musthofa merupakan seorang orator sekaligus penulis yang produktif. Ia mencerminkan sosok kiai yang tak hanya pandai mengolah kata dalam berceramah, tapi juga dalam tulisan. Di tangannya, masalah agama yang rumit dapat digamblangkan, sehingga tak hanya dipahami oleh para santri, tapi juga oleh orang kota dan orang desa. Sebagai penulis yang prolifik, ia menulis sedikitnya 54 buah kitab dalam berbagai bidang kajian ilmu-ilmu keislaman. Salah satu kitab yang masyhur adalah Tafsir Al-Ibriz.

Syahdan, suatu hari Kiai Bisri Musthofa kedatangan seorang tamu. Dari pakaian dan gaya bicaranya, tamu itu mudah ditebak, seorang santri. Benar, tamu itu adalah santri dari salah satu pesantren di Jawa yang tengah menjalani laku tirakat dengan cara menziarahi makam Walisongo dengan berjalan kaki. Ia sowan kepada Kiai Bisri dengan maksud untuk minta didoakan agar hatinya cepat ke-futuh sehingga menjadi seoarang yang ‘alim tanpa harus banyak belajar. Tapi apa yang terjadi? Bukannya didoakan, Kiai Bisri malah mencecar dan memarahinya.
“Sampean sudah berapa lama berjalan?” tanya Kiai Bisri.
“Wah sudah kira-kira dua bulan Kiai. Saya sekarang hampir menyelesaikan separuh perjalanan. Saya sekarang dalam perjalanan ke Jawa Timur dan Madura,” jawab santri.
“Sampean sudah ijin sama Kiai sampean?” Kiai Bisri kembali bertanya.
“Sudah Kiai, malahan saya dipeseni untuk mampir, sowan sama Kiai,” pemuda itu menjawab mantap.
“Sekarang apakah pondok tempat sampean belajar sedang liburan?” kata Kiai Bisri.
“Tidak Kiai,” ujar si santri.
“Apakah Kiai sampean sedang sakit?” tanya Kiai Bisri.
“Tidak Kiai,” jawab santri.
“Berarti sekarang kegiatan belajar mengajar di pondok tetap berlangsung?” cecar Kiai Bisri.
“Iya Kiai,” santri itu menjawab apa adanya.
Alangkah kagetnya santri tersebut, bukannya didoakkan, ia malah dicecar dengan pertanyaan-pertanyaan tajam. Sesaat kemudian, Kiai Bisri berkata: “Sekarang sampean pulang saja. Naek bis. Jangan jalan kaki! Nanti tak sangoni kalau sampean ndak punya uang untuk ongkos. Pulang ke Pesantren!”
“Lo saya sekarang kan sedang menjalankan laku saya, Kiai..” tukas santri itu.
“Lo, lo, lo, gimana to sampean? Sampean saat ini sedang mondok. Meguru pada seorang Kiai. Kalau sekarang Kiai sampean mengijinkan sampean menjalani laku semacam ini bukan karena beliau menyetujui. Itu karena Kiai sampean adalah orang yang beradab sehingga sungkan sama sampean. Namanya dzolim kalau sampean meneruskan laku sampean itu. Umur dan status sampean sekarang pelajar, muta’allim. Tugasnya belajar, nderes pada seorang guru. Apalagi tadi kata sampean, laku sampean itu supaya bisa ke-futuh hatinya. Nanti sampaikan salam saya pada Kiai sampean,” tandas Kiai Bisri.
“Tapi Kiai…” sergah si santri.
Mendengar jawaban santri yang ngeyel itu, Kiai Bisri menjawab: “Ndak ada tapi-tapian. Orang-orang nyebut saya ini Kiai. Kiai yang ngalim malah. La kok sampean yang belum apa-apa ngeyeli saya. Saya sudah pengalaman. Teman-teman saya yang Kiai buanyak. Ngalim-ngalim semua. Ke-futuh semua. Ndak ada itu yang pinter dan ngalim gara-gara laku kaya sampean. Yang ada ya nderes. Nanti kalau pas liburan atau pondok sedang tidak aktif, bolehlah sampean jalan-jalan ziarah ke makam wali-wali. Kalau pondok sedang aktif ya di pondok aja. Ngaji. Nderes.”
Dialog di atas merupakan ilustrasi bahwa bagi Kiai Bisri kewajiban seorang santri adalah belajar dan belajar. Sebab jika ingin menjadi seorang yang alim, tidak ada cara lain kecuali belajar. Barokah dan lain sebagainya hanya bisa mengalir ketika kita mau belajar dengan tekun. Tak heran jika santri yang sowan untuk minta doa agar di-futuh hatinya, justru dimarahi dan disuruh kembali ke pesantren.

Pandai Berpidato dan Produktif Menulis
Kiai Bisri memang dikenal sebagai seorang ulama Jawa yang alim. Dalam sejarah kiai-kiai Nusantara, hanya sedikit tokoh yang kealimannya seperti Kiai Bisri. Ia memiliki dua keahlian sekaligus, pidato yang mengesankan dan menulis banyak kitab. Menurut Kiai Saifuddin Zuhri, Kiai Bisri mampu mengutarakan hal-hal yang sebenarnya sulit menjadi begitu gamblang, mudah diterima semua kalangan baik orang kota maupun desa.
“Hal-hal yang berat menjadi begitu ringan, sesuatu yang membosankan menjadi mengasyikkan, sesuatu yang kelihatannya sepele menjadi amat penting, berbagai kritiknya sangat tajam, meluncur begitu saja dengan lancar dan menyegarkan, serta pihak yang terkena kritik tidak marah karena disampaikan secara sopan dan menyenangkan,” tulis mantan Menteri Agama itu dalam buku Guruku Orang-orang dari Pesantren.
Keahliannya dalam berpidato menjadikan Kiai Bisri dikenal sebagai orator yang ulung. Kiai Bisri memang pandai berceramah. Di Pesantren yang diasuhnya, Pesantren Raudlatut Thalibien, Rembang, ia membuka pengajian untuk masyarakat umum tiap Selasa dan Jum’at pagi. Masyarakat sangat menikmati pidato Kiai Bisri. Lambat laun, di sela-sela mengajar di pesantren, ia pun aktif mengisi pengajian di sekitar Rembang.
Ternyata, penampilannya di atas mimbar amat mempesona para hadirin yang ikut mendengarkan ceramahnya, akhirnya beliau pun sering diundang untuk mengisi ceramah dalam berbagai kesempatan di luar daerah Rembang, seperti Kudus, Demak, Lasem, Kendal, Pati, Pekalongan, Blora dan daerah-daerah lain di Jawa Tengah.
Di samping itu, dalam setiap kampanye partai yang diikutinya, -ia antara lain pernah aktif di Masyumi, Partai NU, dan PPP,- selalu menjadi juru kampanye andalan. Dalam politik Kiai Bisri dikenal sebagai seorang pelobi dan negosiator yang sangat handal. Pergulatan di dunia politik tetap dijalani Mbah Bisri hingga era pemerintahan Orde Baru. Ketika semua partai Islam, termasuk NU, harus berfusi ke Partai persatuan Pembangunan (PPP), Kiai Bisri terlibat aktif membesarkan PPP. Tak pelak, ia menjadi tokoh yang disegani di partai tersebut.
Kendati sibuk mengurus pesantren, mengisi ceramah, dan berpolitik, Kiai Bisri masih dapat menjaga semangat intelektualnya untuk  tetap menulis. Ia memanfaatkan waktunya dengan sangat baik. Tak hanya di pondok, konon di tengah perjalanan di kereta api dan bus pun ia masih sempat menulis. Ia bisa disebut sebagai satu di antara sedikit ulama Islam Indonesia yang memiliki karya besar. Karya utamanya tafsir al-Ibriz li Ma’rifah Tafsir al-Qur’an al-‘Aziz sangat akrab bagi para santri di berbagai pesantren salaf. Kitab tafsir yang selesai ditulis pada tahun 1960 itu, terdiri dari tiga jilid dengan tebal total 2.270 halaman.
Kitab lain yang ditulis Kiai Bisri yaitu kitab Al-Usyuthy, terjemahan kitab Imrithy, dan kitab Ausathul Masalik, terjemahan kitab Alfiyah Ibnu Malik. Ia tak hanya menggarap tema-tema yang berat, tema-tema yang ringan pun menjadi perhatian dalam karya-karyanya. Di antaranya buku kumpulan anekdot Kasykul, Abu Nawas, novel berbahasa Jawa Qohar lan Sholihah; naskah drama Nabi Yusuf dan Siti Zulaikha; Syiiran Ngudi Susilo; dan sebagainya.
Di luar kitab-kitab dan buku-buku tersebut, masih banyak karya lain yang berhasil ditulisnya. Karya-karya lain Kiai Bisri meliputi berbagai bidang kajian Islam, seperti tauhid, fiqh, tasawuf, hadits, tata bahasa Arab, sastra Arab, dan bidang lainnya.
Soal produktifitasnya dalam menulis, Kiai Bisri memiliki falsafah yang menarik.  Dalam buku Mutiara Pesantren Perjalanan Khidmah KH Bisri Mustofa,  putra keduanya, KH Mustofa Bisri atau lebih dikenal dengan panggilan Gus Mus, mengisahkan, suatu hari, Kiai Bisri berbincang-bincang dengan salah seorang sahabatnya, yakni Kiai Ali Maksum Krapyak, Yogyakarta.
Kiai Ali Maksum membuka percakapan: “Kalau soal kealiman, barangkali saya tidak kalah dari sampeyan, bahkan mungkin saya lebih alim,” kata Kiai Ali Maksum dengan nada kelakar yang khas.
“Tapi saya heran, mengapa Sampeyan bisa begitu produktif menulis, sementara saya selalu gagal di tengah jalan. Baru separo atau sepertiga, sudah macet tak bisa melanjutkan,” lanjut Kiai Ali Maksum.
Dengan gaya khas Kiai Bisri menjawab: “Lha soalnya Sampeyan menulis lillahi ta’ala sih!”
Tentu saja jawaban itu mengejutkan Kiai Ali: “Lho Kiai menulis kok tidak lillahi ta’ala; lalu dengan niat apa?”
Mbah Bisri menjawab: “Kalau saya, menulis dengan niat nyambut gawe. Etos, saya dalam menulis sama dengan penjahit. Lihatlah penjahit itu, walaupun ada tamu, penjahit tidak akan berhenti menjahit. Dia menemui tamunya sambil terus bekerja, soalnya bila dia berhenti menjahit, periuknya bisa ngguling, saya juga begitu, kalau belum-belum, sampeyan sudah niat yang mulia-mulia, setan akan mengganggu sampeyan dan pekerjaan sampeyan tak akan selesai..,” kata Kiai Bisri.
“Lha nanti kalau tulisan sudah jadi, dan akan diserahkan kepada penerbit, baru kita niati yang mulia-mulia, linasyril ‘ilmi atau apa. Setan perlu kita tipu,” tukas Mbah Bisri sambil tertawa.

Putera Saudagar yang Jadi Menantu Kiai
Kiai Bisri Musthofa adalah putra pertama pasangan saudagar kaya, H. Zainal Musthofa dan Hj. Khatijah. Ia lahir di desa Pesawahan, Rembang, Jawa Tengah, pada 1915. Semasa kecil, orang tuanya memberi nama Masyhadi. Tapi usai menunaikan ibadah haji, Masyhadi mengganti namanya menjadi Bisri. Kedua orangtuanya merupakan cucu dari Mbah Syuro, seorang tokoh kharismatik di Kecamatan Sarang.
Masa kecil Kiai Bisri dihabiskan untuk belajar. Usai menunaikan ibadah haji bersama kedua orang tuanya dan kedua adiknya pada usia delapan tahun, ia masuk ke sekolah Ongko Loro, semacam sekolah dasar, di Rembang. Lulus dari sekolah itu, ia masuk ke Pesantren Kasingan, Rembang, yang diasuh Kiai Cholil Harun. Di pesantren itu, Kiai Bisri sangat takzim pada gurunya. Namun, ia tetap seorang yang kokoh dengan pendirian, tidak mau dipaksa maupun memaksa.
Suatu hari, pada bulan Sya’ban, tahun 1934 M, Kiai Bisri muda diajak oleh Kiai Cholil Harun untuk pergi ke Tuban Jawa Timur. Ia tak mengetahui apa tujuan kepergian tersebut dan mengapa dirinya diajak. Setelah sampai di Jenu, di rumah Kiai Chusain, Kiai Cholil berkata kepada Kiai Bisri muda: “Engkau mau nggak saya akui sebagai anak saya dunia-akhirat?”
Tentu saja Kiai Bisri muda menjawab: “Ya mau Syaichuna.”
KH Cholil meneruskan : “Kalau begitu Engkau harus patuh kepadaku.”
Kiai Bisri muda pun diam sebagai tanda tidak menolak.
Kemudian Kiai Cholil berkata lagi; “Engkau akan saya kawinkan dengan puteri KH Murtadho Makam Agung Tuban. Puterinya itu ayu, manis, dan Bapaknya yaitu KH Murtadho adalah seorang kiai yang alim, beruntung Engkau menjadi menantunya.”
Kali ini, Kiai Bisri muda memberanikan diri untuk menolak, perintah kawin tersebut. Ia merasa belum pantas untuk menikah, karena ilmu yang ia pelajari masih sangat kurang. Kiai Cholil kemudian menjawab bahwa justru itu sebabnya Bisri muda akan dikawinkan dengan puteri seorang kiai besar dan alim, agar nantinya ia menjadi orang alim juga.
Tanpa diberikan kesempatan membalas bicara, Kiai Bisri muda langsung diajak masuk ke rumah Kiai Murtadho Tuban. Di tempat itu sepertinya sudah dipersiapkan segala hal, untuk menerima tamu Kiai Cholil dan Bisri muda yang akan melakukan khitbah atau pertunangan kepada puteri Kiai Murtadho. Sesampai di rumah tujuan, Bisri muda merasa beruntung, karena sang puteri yang akan ditunangkan dengannya ternyata lari dan bersembunyi ketika melihatnya. Hal ini yang dijadikan alasan Bisri muda untuk menolak perintah kawin.
Tetapi Kiai Cholil sudah melakukan perundingan dengan Kiai Murtadho bahwa keputusan mengawinkan Bisri muda dengan puteri Kiai Murtadho sudah bulat. Telah diputuskan bahwa pada tanggal 7 Syawal tahun 1934 M , Kiai Murtadho akan bertandang ke Rembang bersama puterinya untuk khitbah (tunangan) dan sekaligus dilangsungkan dengan akad nikah.
Pada  3 Syawal, beberapa hari sebelum kedatangan Kiai Murtdlo dan putrinya, Bisri muda ditemani Mabrur meninggalkan Rembang tanpa pamit kepada siapapun. Hal ini ia lakukan sebagai bentuk penolakan dari perintah kawin tersebut. Keduanya merantau ke Demak, Sayung, Semarang, Kaliwungu, Kendal, dengan berbekal uang yang pas-pasan. Setiap keduanya mampir ke tempat teman atau orang tua teman, keduanya mendapat tambahan bekal. Hal ini dilakukan selama satu bulan lebih. Rantauan paling lama beliau tempati adalah daerah kampung Donosari Pegandon Kendal.
Setelah sebulan menghilang di perantauan, Kiai Bisri akhirnya kembali ke Rembang. Kiai Bisri muda langsung menghadap Kiai Cholil dan meminta maaf atas kelakuannya tersebut. Dijabatnya tangan Kiai Cholil erat-erat, tapi tidak sepatah kata pun terucap dari mulut Kiai Cholil. Walau Kiai Bisri muda mau pamit kembali, dan menjabat tangan Kiai Cholil, tetapi sang Kiai masih saja berdiam diri.
Seperti biasanya Bisri muda mengikuti kembali pengajian-pengajian di pesantren dan dalam setiap pertemuan itu Bisri muda sama sekali tidak ditanya oleh Kiai Cholil sebagaimana biasanya. Pada 1932 M, Bisri muda minta izin kepada Kiai Cholil untuk meneruskan mondok ke Termas untuk mengaji dengan Kiai Dimyati. Tetapi Kiai Cholil tidak mengizinkan. Sementara Bisri muda merasa dikucilkan oleh Kiai Cholil gara-gara tidak mau dinikahkan dengan putri Kiai Murtadho.
Pengucilan tersebut berlangsung sampai sekitar setahun lebih dan beraKiaiir dengan berita di luar dugaan. Berita itu adalah, tentang keinginan Kiai Cholil untuk mengambil Bisri muda sebagai menantunya. Bisri muda akan dijodohkan dengan puteri Kiai Cholil, yang bernama Ma’rufah. Berita itu ia dapatkan dari ibunya ketika Beliau pulang ke rumahnya di Sawahan. Ibunya menceritakan bahwa Kiai Cholil telah datang kepadanya dan meminta Bisri untuk dijadikan menantunya.
Kiai Bisri kemudian mengalami kebingungan mendengar berita tersebut. Akan tetapi setelah melihat bahwa ibu dan seluruh keluarganya termasuk kakaknya H Zuhdi menyetujuinya, maka hati Bisri menjadi mantap dan setuju untuk menikah. Setelah segala sesuatunya dipersiapkan maka tanggal 17 Rajab 1354 H / Juni 1935 dilaksanakan akad nikah antara Kiai Bisri dengan Ma’rufah binti Kiai Cholil. Pada waktu itu kedua berusia  20 tahun.
Setelah menjadi menantu Kiai Cholil, Kiai Bisri muda membantu mengajar di pesantren Kiai Cholil, pesantren di mana Bisri muda menimba ilmu. Pernikahannya ini dikaruniai delapan orang anak, yaitu; Cholil (lahir 1941), Mustofa (lahir 1943), Adieb (lahir 1950), Faridah (lahir 1952), Najichah (lahir 1955), Labib (lahir 1956), Nihayah (lahir 1958) dan Atikah (lahir 1964). Seiring perjalanan waktu, Kiai Bisri kemudian menikah lagi dengan seorang perempuan asal Tegal Jawa Tengah bernama Umi Atiyah. Peristiwa tersebut kira-kira tahun 1967-an. Dalam pernikahan dengan Umi Atiyah tersebut, Kiai Bisri dikaruniai satu orang putera laki-laki bernama Maemun.

Berguru hingga ke Mekkah
Menjadi menantu kiai ternyata enak-enak susah. Bagi yang pintar memang enak, sebab langsung dapat mengajar, tanpa susah payah mencari murid. Bagi yang ilmunya pas-pasan, tentu susahnya bukan kepalang. Sialnya lagi, orang-oang beranggapan, tidak mungkin seorang kiai mengambil menantu bodoh. Itulah yang dialami Kiai Bisri saat telah menikah dengan putri Kiai Cholil Harun.
Kiai Cholil prihatin ketika banyak santri minta dibacakan kitab yang macam-macam. Padahal, jangankan membaca, wujud kitabnya saja kadang dia belum pernah tahu. Namun bukan berarti tidak ada jalan baginya, sebab menolak mengajar adalah pantangan. Dicari akal untuk mengatasinya. Ketemulah model candak kulak atau belajar sambil mengajar. Caranya, tiga hari sekali dia belajar pada Kiai Kamil di Kanggeneng. Hasil belajar itu kemudian diajarkan pada santrinya esok paginya. Sekali belajar di Kanggenang, diajarkan untuk tiga hari pada santrinya.
Repotnya, jadwal mengaji di Pesantren Kasingan menjadi sangat bergantung pada jadwal mengaji di Pesantren Kanggeneng. Kalau pengajian di Kanggeneng libur sehari saja maka pengajian di Kasingan diliburkan tiga hari, sebab Kiai-nya kehabisan bahan.
Merasa tidak bisa terus menerus hanya dengan mengandalkan candak kulak. Kiai Bisri pun ingin meninggalkan Bumi Panas peninggalan mertua, Pesantren Kasingan. Maka ketika musim haji  tiba, ia nekad pergi ke Makkah dengan uang tabungan dan hasil jualan kitab, meski hanya dengan modal pas-pasan.
Di Mekah, pendidikan yang dijalani Kiai Bisri Musthofa bersifat non-formal. Beliau belajar dari satu guru ke guru lain secara langsung dan privat. Di antara guru-guru beliau terdapat ulama-ulama asal Indonesia yang telah lama mukim di Mekah. Secara keseluruhan, guru-guru beliau di Mekah adalah: (1) Syeikh Baqir, asal Yogyakarta. Kepada beliau, Kiai Bisri Musthofa belajar kitab Lubbil Ushul, ‘Umdatul Abrar, Tafsir al-Kasysyaf; (2) Syeikh Umar Hamdan al-Maghriby. Kepada beliau, Kiai Bisri Musthofa belajar kitab hadits Shahih Bukhari dan Muslim; (3) Syeikh Ali Maliki. Kepada beliau, Kiai Bisri Musthofa belajar kitab al-Asybah wa al-Nadha’ir dan al-Aqwaal al-Sunnan al-Sittah; (4) Sayid Amin. Kepada beliau, Kiai Bisri Musthofa belajar kitab Ibnu ‘Aqil; (5) Syeikh Hassan Massath. Kepada beliau, Kiai Bisri Musthofa belajar kitab Minhaj Dzawin Nadhar; (6) Sayid Alwi. Kepada beliau, Kiai Bisri Musthofa belajar tafsir al-Qur’an al-Jalalain; (7) Kiai Abdullah Muhaimin. Kepada beliau, Kiai Bisri Musthofa belajar kitab Jam’ul Jawami.
Dua tahun lebih Kiai Bisri menuntut ilmu di Mekah. Kiai Bisri pulang ke Kasingan tepatnya pada tahun 1938 atas permintaan mertuanya. Setahun kemudian, mertuanya,  Kiai Kholil,  meninggal dunia. Sejak itulah Kiai Bisri Mustofa menggantikan posisi guru dan mertuanya itu sebagai pemimpin pesantren.
Dalam mengajar para santrinya, beliau melanjutkan sistem yang dipergunakan kiai-kiai sebelumnya yaitu menggunakan sistem balah (bagian) menurut bidangnya masing-masing. Beberapa kitab yang diajarkan langsung kepada para santrinya adalah Shahih Bukhari, Shahih Muslim, Alfiyah Ibn Malik, Fath al-Mu’in, Jam’ul Jawami’, Tafsir al-Qur’an, Jurumiyah, Matan ‘Imrithi, Nadham Maqshud, ‘Uqudil Juman, dan lain-lain.
Kiai Bisri Musthofa memiliki banyak murid. Di antara murid-muridnya yang menonjol adalah Kiai Saefullah (pengasuh sebuah pesantren di Cilacap Jawa Tengah), Kiai Muhammad Anshari (Surabaya), Kiai Wildan Abdul Hamid (pengasuh sebuah pesantren di Kendal), Kiai Basrul Khafi, Kiai Jauhar, Drs. Umar Faruq SH, Drs. Ali Anwar (Dosen IAIN Jakarta), Drs. Fathul Qorib (Dosen IAIN Medan), H. Rayani (Pengasuh Pesantren al-Falah Bogor), dan lain-lain.

Berpikir Moderat
Tidak dapat dipungkiri, di dalam lingkungan kaum muslimin ada dua kecenderungan, yaitu kelompok tekstual-skripturalistik dan kelompok rasional. Kelompok tekstualis selalu menjadikan ayat al-Qur’an dan Hadits apa adanya sebagai dasar argumen, berpikir, dan bersikap. Sementara kelompok rasionalis selalu memberikan interpretasi rasional terhadap teks-teks keagamaan berdasarkan kemampuan akalnya.
Kiai Bisri Musthofa tidak termasuk di antara kedua kelompok di atas. Kiai Bisri Musthofa lebih cenderung berada di tengah-tengah antara tekstual-skripturalis dan rasionalis. Sebagaimana terlihat jelas dalam kitab tafsirnya, al-Ibruz, Kiai Bisri Musthofa selalu memberikan tafsiran terhadap ayat-ayat mutasyabihat dengan mengambil beberapa pendapat para mufassir disertai dengan argumen-argumen yang beliau berikan sendiri. Dalam kitab tafsirnya itu tidak sedikit ditemukan uraian-uraian yang menyangkut ilmu sosial, logika, ilmu pengetahuan alam dan sebagainya.
Di bidang akhlak, Kiai Bisri Musthofa termasuk orang yang sangat memprihatinkan kondisi kemorosotan moral generasi muda. Lewat karya-karyanya di bidang akhlak itulah Kiai Bisri Musthofa menyampaikan nasihat-nasihatnya kepada generasi muda. Dalam kitab berbahasa Jawa Washoya Abaa li al-Abna, misalnya, beliau memberikan tuntunan-tuntunan seperti sikap taat dan patuh kepada orangtua, kerapihan, kebersihan, kesehatan, hidup hemat, larangan menyiksa binatang, bercita-cita luhur dan nasihat-nasihat baik lainnya. Sementara dalam karya yang berbentuk syair Jawa, yaitu kitab Ngudi Susila dan Mitra Sejati, Kiai Bisri Musthofa menekankan sikap humanisme, kemandirian, rajin menuntut ilmu dan lain-lain.
Sedangkan pemikiran Kiai Bisri Musthofa dalam bidang fiqh terlihat dalam pemikirannya mengenai Keluarga Berencana (KB). Menurutnya, manusia dalam berkeluarga diperbolehkan berikhtiar merencanakan masa depan keluarganya sesuai dengan kemampuan yang ada pada dirinya. Dalam pandangan Kiai Bisri Musthofa, Keluarga Berencana diperbolehkan bila disertai dengan alasan yang pokok, yaitu untuk menjaga kesehatan ibu dan anak, dan meningkatkan pendidikan sang anak.

Berjuang untuk Bangsa
Kiai Bisri Musthofa hidup dalam tiga zaman, yaitu zaman penjajahan, zaman pemerintahan Soekarno, dan masa Orde Baru. Pada zaman penjajahan, ia duduk sebagai ketua Nahdlatul Ulama dan ketua Hizbullah Cabang Rembang. Kemudian, setelah Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI) dibubarkan Jepang, ia diangkat menjadi ketua Masyumi Cabang Rembang. Ketua Masyumi pusat waktu itu adalah Kiai Hasyim Asy’ari dan wakilnya Ki Bagus Hadikusumo.
Masa-masa menjelang kemerdekaan, Kiai Bisri mendapat tugas dari PETA (Pembela Tanah Air). Beliau juga pernah menjabat sebagai kepala Kantor Urusan Agama dan ketua Pengadilan Agama Rembang. Menjelang kampanye Pemilu 1955, jabatan tersebut ditinggalkan, dan mulai aktif di partai NU. Dalam hal ini beliau menyatakan : “Tenaga saya hanya untuk partai NU… dan di samping itu menulis buku”.
Pada zaman pemerintahan Soekarno, Kiai Bisri duduk sebagai anggota konstituane, anggota MPRS dan Pembantu Menteri Penghubung Ulama. Sebagai anggota MPRS, ia ikut terlibat dalam pengangkatan Letjen Soeharto sebagai Presiden, menggantikan Soekarno dan memimpin do’a waktu pelantikan.
Pada masa Orde Baru, Kiai Bisri pernah menjadi anggota DPRD I Jawa Tengah hasil Pemilu 1971 dari Fraksi NU dan anggota MPR dari Utusan Daerah Golongan Ulama. Pada tahun 1977, ketika partai Islam berfusi menjadi Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Kiai Bisri menjadi anggota Majelis Syura PPP Pusat. Secara bersamaan, beliau juga duduk sebagai Syuriyah NU wilayah Jawa Tengah.
Menjelang Pemilu 1977, Kiai Bisri Musthofa terdaftar sebagai calon nomor satu anggota DPR Pusat dari PPP untuk daerah pemilihan Jawa Tengah. Namun sayang sekali, Pemilu 1977 berlangsung tanpa kehadiran Kiai Bisri Musthofa. Beliau meninggal dunia seminggu sebelum masa kampanye 24 Februari 1977. Duduknya Kiai Bisri Musthofa sebagai calon utama anggota DPR tersebut memang memberikan bobot tersendiri bagi perolehan suara PPP. Itulah sebabnya, wafatnya beliau dirasakan sebagai suatu musibah yang berat bagi warga PPP. [] diramu dari berbagai sumber.

Dipublikasi di Dunia Kiai | Tag | Meninggalkan komentar

HanifMagz, Ikon Baru Media Islam Online

HanifMagz adalah blog media Islam Online yang menyajikan berita-berita seputar Islam dan Kaum Muslim di Indonesia dan seluruh dunia. Kami berprinsip pada Islam Ahlussunnah Waljamaah. Kami percaya bahwa perbedaan adalah rahmat. Semoga kita dapat saling bertukar gagasan dan informasi melalui media sederhana ini.

Dipublikasi di Uncategorized | Meninggalkan komentar

Hello world!

Welcome to WordPress.com. This is your first post. Edit or delete it and start blogging!

Dipublikasi di Uncategorized | 1 Komentar