KH. Bisri Musthofa (1915-1977) Orator Ulung yang Produktif Menulis

Kiai Bisri Musthofa merupakan seorang orator sekaligus penulis yang produktif. Ia mencerminkan sosok kiai yang tak hanya pandai mengolah kata dalam berceramah, tapi juga dalam tulisan. Di tangannya, masalah agama yang rumit dapat digamblangkan, sehingga tak hanya dipahami oleh para santri, tapi juga oleh orang kota dan orang desa. Sebagai penulis yang prolifik, ia menulis sedikitnya 54 buah kitab dalam berbagai bidang kajian ilmu-ilmu keislaman. Salah satu kitab yang masyhur adalah Tafsir Al-Ibriz.

Syahdan, suatu hari Kiai Bisri Musthofa kedatangan seorang tamu. Dari pakaian dan gaya bicaranya, tamu itu mudah ditebak, seorang santri. Benar, tamu itu adalah santri dari salah satu pesantren di Jawa yang tengah menjalani laku tirakat dengan cara menziarahi makam Walisongo dengan berjalan kaki. Ia sowan kepada Kiai Bisri dengan maksud untuk minta didoakan agar hatinya cepat ke-futuh sehingga menjadi seoarang yang ‘alim tanpa harus banyak belajar. Tapi apa yang terjadi? Bukannya didoakan, Kiai Bisri malah mencecar dan memarahinya.
“Sampean sudah berapa lama berjalan?” tanya Kiai Bisri.
“Wah sudah kira-kira dua bulan Kiai. Saya sekarang hampir menyelesaikan separuh perjalanan. Saya sekarang dalam perjalanan ke Jawa Timur dan Madura,” jawab santri.
“Sampean sudah ijin sama Kiai sampean?” Kiai Bisri kembali bertanya.
“Sudah Kiai, malahan saya dipeseni untuk mampir, sowan sama Kiai,” pemuda itu menjawab mantap.
“Sekarang apakah pondok tempat sampean belajar sedang liburan?” kata Kiai Bisri.
“Tidak Kiai,” ujar si santri.
“Apakah Kiai sampean sedang sakit?” tanya Kiai Bisri.
“Tidak Kiai,” jawab santri.
“Berarti sekarang kegiatan belajar mengajar di pondok tetap berlangsung?” cecar Kiai Bisri.
“Iya Kiai,” santri itu menjawab apa adanya.
Alangkah kagetnya santri tersebut, bukannya didoakkan, ia malah dicecar dengan pertanyaan-pertanyaan tajam. Sesaat kemudian, Kiai Bisri berkata: “Sekarang sampean pulang saja. Naek bis. Jangan jalan kaki! Nanti tak sangoni kalau sampean ndak punya uang untuk ongkos. Pulang ke Pesantren!”
“Lo saya sekarang kan sedang menjalankan laku saya, Kiai..” tukas santri itu.
“Lo, lo, lo, gimana to sampean? Sampean saat ini sedang mondok. Meguru pada seorang Kiai. Kalau sekarang Kiai sampean mengijinkan sampean menjalani laku semacam ini bukan karena beliau menyetujui. Itu karena Kiai sampean adalah orang yang beradab sehingga sungkan sama sampean. Namanya dzolim kalau sampean meneruskan laku sampean itu. Umur dan status sampean sekarang pelajar, muta’allim. Tugasnya belajar, nderes pada seorang guru. Apalagi tadi kata sampean, laku sampean itu supaya bisa ke-futuh hatinya. Nanti sampaikan salam saya pada Kiai sampean,” tandas Kiai Bisri.
“Tapi Kiai…” sergah si santri.
Mendengar jawaban santri yang ngeyel itu, Kiai Bisri menjawab: “Ndak ada tapi-tapian. Orang-orang nyebut saya ini Kiai. Kiai yang ngalim malah. La kok sampean yang belum apa-apa ngeyeli saya. Saya sudah pengalaman. Teman-teman saya yang Kiai buanyak. Ngalim-ngalim semua. Ke-futuh semua. Ndak ada itu yang pinter dan ngalim gara-gara laku kaya sampean. Yang ada ya nderes. Nanti kalau pas liburan atau pondok sedang tidak aktif, bolehlah sampean jalan-jalan ziarah ke makam wali-wali. Kalau pondok sedang aktif ya di pondok aja. Ngaji. Nderes.”
Dialog di atas merupakan ilustrasi bahwa bagi Kiai Bisri kewajiban seorang santri adalah belajar dan belajar. Sebab jika ingin menjadi seorang yang alim, tidak ada cara lain kecuali belajar. Barokah dan lain sebagainya hanya bisa mengalir ketika kita mau belajar dengan tekun. Tak heran jika santri yang sowan untuk minta doa agar di-futuh hatinya, justru dimarahi dan disuruh kembali ke pesantren.

Pandai Berpidato dan Produktif Menulis
Kiai Bisri memang dikenal sebagai seorang ulama Jawa yang alim. Dalam sejarah kiai-kiai Nusantara, hanya sedikit tokoh yang kealimannya seperti Kiai Bisri. Ia memiliki dua keahlian sekaligus, pidato yang mengesankan dan menulis banyak kitab. Menurut Kiai Saifuddin Zuhri, Kiai Bisri mampu mengutarakan hal-hal yang sebenarnya sulit menjadi begitu gamblang, mudah diterima semua kalangan baik orang kota maupun desa.
“Hal-hal yang berat menjadi begitu ringan, sesuatu yang membosankan menjadi mengasyikkan, sesuatu yang kelihatannya sepele menjadi amat penting, berbagai kritiknya sangat tajam, meluncur begitu saja dengan lancar dan menyegarkan, serta pihak yang terkena kritik tidak marah karena disampaikan secara sopan dan menyenangkan,” tulis mantan Menteri Agama itu dalam buku Guruku Orang-orang dari Pesantren.
Keahliannya dalam berpidato menjadikan Kiai Bisri dikenal sebagai orator yang ulung. Kiai Bisri memang pandai berceramah. Di Pesantren yang diasuhnya, Pesantren Raudlatut Thalibien, Rembang, ia membuka pengajian untuk masyarakat umum tiap Selasa dan Jum’at pagi. Masyarakat sangat menikmati pidato Kiai Bisri. Lambat laun, di sela-sela mengajar di pesantren, ia pun aktif mengisi pengajian di sekitar Rembang.
Ternyata, penampilannya di atas mimbar amat mempesona para hadirin yang ikut mendengarkan ceramahnya, akhirnya beliau pun sering diundang untuk mengisi ceramah dalam berbagai kesempatan di luar daerah Rembang, seperti Kudus, Demak, Lasem, Kendal, Pati, Pekalongan, Blora dan daerah-daerah lain di Jawa Tengah.
Di samping itu, dalam setiap kampanye partai yang diikutinya, -ia antara lain pernah aktif di Masyumi, Partai NU, dan PPP,- selalu menjadi juru kampanye andalan. Dalam politik Kiai Bisri dikenal sebagai seorang pelobi dan negosiator yang sangat handal. Pergulatan di dunia politik tetap dijalani Mbah Bisri hingga era pemerintahan Orde Baru. Ketika semua partai Islam, termasuk NU, harus berfusi ke Partai persatuan Pembangunan (PPP), Kiai Bisri terlibat aktif membesarkan PPP. Tak pelak, ia menjadi tokoh yang disegani di partai tersebut.
Kendati sibuk mengurus pesantren, mengisi ceramah, dan berpolitik, Kiai Bisri masih dapat menjaga semangat intelektualnya untuk  tetap menulis. Ia memanfaatkan waktunya dengan sangat baik. Tak hanya di pondok, konon di tengah perjalanan di kereta api dan bus pun ia masih sempat menulis. Ia bisa disebut sebagai satu di antara sedikit ulama Islam Indonesia yang memiliki karya besar. Karya utamanya tafsir al-Ibriz li Ma’rifah Tafsir al-Qur’an al-‘Aziz sangat akrab bagi para santri di berbagai pesantren salaf. Kitab tafsir yang selesai ditulis pada tahun 1960 itu, terdiri dari tiga jilid dengan tebal total 2.270 halaman.
Kitab lain yang ditulis Kiai Bisri yaitu kitab Al-Usyuthy, terjemahan kitab Imrithy, dan kitab Ausathul Masalik, terjemahan kitab Alfiyah Ibnu Malik. Ia tak hanya menggarap tema-tema yang berat, tema-tema yang ringan pun menjadi perhatian dalam karya-karyanya. Di antaranya buku kumpulan anekdot Kasykul, Abu Nawas, novel berbahasa Jawa Qohar lan Sholihah; naskah drama Nabi Yusuf dan Siti Zulaikha; Syiiran Ngudi Susilo; dan sebagainya.
Di luar kitab-kitab dan buku-buku tersebut, masih banyak karya lain yang berhasil ditulisnya. Karya-karya lain Kiai Bisri meliputi berbagai bidang kajian Islam, seperti tauhid, fiqh, tasawuf, hadits, tata bahasa Arab, sastra Arab, dan bidang lainnya.
Soal produktifitasnya dalam menulis, Kiai Bisri memiliki falsafah yang menarik.  Dalam buku Mutiara Pesantren Perjalanan Khidmah KH Bisri Mustofa,  putra keduanya, KH Mustofa Bisri atau lebih dikenal dengan panggilan Gus Mus, mengisahkan, suatu hari, Kiai Bisri berbincang-bincang dengan salah seorang sahabatnya, yakni Kiai Ali Maksum Krapyak, Yogyakarta.
Kiai Ali Maksum membuka percakapan: “Kalau soal kealiman, barangkali saya tidak kalah dari sampeyan, bahkan mungkin saya lebih alim,” kata Kiai Ali Maksum dengan nada kelakar yang khas.
“Tapi saya heran, mengapa Sampeyan bisa begitu produktif menulis, sementara saya selalu gagal di tengah jalan. Baru separo atau sepertiga, sudah macet tak bisa melanjutkan,” lanjut Kiai Ali Maksum.
Dengan gaya khas Kiai Bisri menjawab: “Lha soalnya Sampeyan menulis lillahi ta’ala sih!”
Tentu saja jawaban itu mengejutkan Kiai Ali: “Lho Kiai menulis kok tidak lillahi ta’ala; lalu dengan niat apa?”
Mbah Bisri menjawab: “Kalau saya, menulis dengan niat nyambut gawe. Etos, saya dalam menulis sama dengan penjahit. Lihatlah penjahit itu, walaupun ada tamu, penjahit tidak akan berhenti menjahit. Dia menemui tamunya sambil terus bekerja, soalnya bila dia berhenti menjahit, periuknya bisa ngguling, saya juga begitu, kalau belum-belum, sampeyan sudah niat yang mulia-mulia, setan akan mengganggu sampeyan dan pekerjaan sampeyan tak akan selesai..,” kata Kiai Bisri.
“Lha nanti kalau tulisan sudah jadi, dan akan diserahkan kepada penerbit, baru kita niati yang mulia-mulia, linasyril ‘ilmi atau apa. Setan perlu kita tipu,” tukas Mbah Bisri sambil tertawa.

Putera Saudagar yang Jadi Menantu Kiai
Kiai Bisri Musthofa adalah putra pertama pasangan saudagar kaya, H. Zainal Musthofa dan Hj. Khatijah. Ia lahir di desa Pesawahan, Rembang, Jawa Tengah, pada 1915. Semasa kecil, orang tuanya memberi nama Masyhadi. Tapi usai menunaikan ibadah haji, Masyhadi mengganti namanya menjadi Bisri. Kedua orangtuanya merupakan cucu dari Mbah Syuro, seorang tokoh kharismatik di Kecamatan Sarang.
Masa kecil Kiai Bisri dihabiskan untuk belajar. Usai menunaikan ibadah haji bersama kedua orang tuanya dan kedua adiknya pada usia delapan tahun, ia masuk ke sekolah Ongko Loro, semacam sekolah dasar, di Rembang. Lulus dari sekolah itu, ia masuk ke Pesantren Kasingan, Rembang, yang diasuh Kiai Cholil Harun. Di pesantren itu, Kiai Bisri sangat takzim pada gurunya. Namun, ia tetap seorang yang kokoh dengan pendirian, tidak mau dipaksa maupun memaksa.
Suatu hari, pada bulan Sya’ban, tahun 1934 M, Kiai Bisri muda diajak oleh Kiai Cholil Harun untuk pergi ke Tuban Jawa Timur. Ia tak mengetahui apa tujuan kepergian tersebut dan mengapa dirinya diajak. Setelah sampai di Jenu, di rumah Kiai Chusain, Kiai Cholil berkata kepada Kiai Bisri muda: “Engkau mau nggak saya akui sebagai anak saya dunia-akhirat?”
Tentu saja Kiai Bisri muda menjawab: “Ya mau Syaichuna.”
KH Cholil meneruskan : “Kalau begitu Engkau harus patuh kepadaku.”
Kiai Bisri muda pun diam sebagai tanda tidak menolak.
Kemudian Kiai Cholil berkata lagi; “Engkau akan saya kawinkan dengan puteri KH Murtadho Makam Agung Tuban. Puterinya itu ayu, manis, dan Bapaknya yaitu KH Murtadho adalah seorang kiai yang alim, beruntung Engkau menjadi menantunya.”
Kali ini, Kiai Bisri muda memberanikan diri untuk menolak, perintah kawin tersebut. Ia merasa belum pantas untuk menikah, karena ilmu yang ia pelajari masih sangat kurang. Kiai Cholil kemudian menjawab bahwa justru itu sebabnya Bisri muda akan dikawinkan dengan puteri seorang kiai besar dan alim, agar nantinya ia menjadi orang alim juga.
Tanpa diberikan kesempatan membalas bicara, Kiai Bisri muda langsung diajak masuk ke rumah Kiai Murtadho Tuban. Di tempat itu sepertinya sudah dipersiapkan segala hal, untuk menerima tamu Kiai Cholil dan Bisri muda yang akan melakukan khitbah atau pertunangan kepada puteri Kiai Murtadho. Sesampai di rumah tujuan, Bisri muda merasa beruntung, karena sang puteri yang akan ditunangkan dengannya ternyata lari dan bersembunyi ketika melihatnya. Hal ini yang dijadikan alasan Bisri muda untuk menolak perintah kawin.
Tetapi Kiai Cholil sudah melakukan perundingan dengan Kiai Murtadho bahwa keputusan mengawinkan Bisri muda dengan puteri Kiai Murtadho sudah bulat. Telah diputuskan bahwa pada tanggal 7 Syawal tahun 1934 M , Kiai Murtadho akan bertandang ke Rembang bersama puterinya untuk khitbah (tunangan) dan sekaligus dilangsungkan dengan akad nikah.
Pada  3 Syawal, beberapa hari sebelum kedatangan Kiai Murtdlo dan putrinya, Bisri muda ditemani Mabrur meninggalkan Rembang tanpa pamit kepada siapapun. Hal ini ia lakukan sebagai bentuk penolakan dari perintah kawin tersebut. Keduanya merantau ke Demak, Sayung, Semarang, Kaliwungu, Kendal, dengan berbekal uang yang pas-pasan. Setiap keduanya mampir ke tempat teman atau orang tua teman, keduanya mendapat tambahan bekal. Hal ini dilakukan selama satu bulan lebih. Rantauan paling lama beliau tempati adalah daerah kampung Donosari Pegandon Kendal.
Setelah sebulan menghilang di perantauan, Kiai Bisri akhirnya kembali ke Rembang. Kiai Bisri muda langsung menghadap Kiai Cholil dan meminta maaf atas kelakuannya tersebut. Dijabatnya tangan Kiai Cholil erat-erat, tapi tidak sepatah kata pun terucap dari mulut Kiai Cholil. Walau Kiai Bisri muda mau pamit kembali, dan menjabat tangan Kiai Cholil, tetapi sang Kiai masih saja berdiam diri.
Seperti biasanya Bisri muda mengikuti kembali pengajian-pengajian di pesantren dan dalam setiap pertemuan itu Bisri muda sama sekali tidak ditanya oleh Kiai Cholil sebagaimana biasanya. Pada 1932 M, Bisri muda minta izin kepada Kiai Cholil untuk meneruskan mondok ke Termas untuk mengaji dengan Kiai Dimyati. Tetapi Kiai Cholil tidak mengizinkan. Sementara Bisri muda merasa dikucilkan oleh Kiai Cholil gara-gara tidak mau dinikahkan dengan putri Kiai Murtadho.
Pengucilan tersebut berlangsung sampai sekitar setahun lebih dan beraKiaiir dengan berita di luar dugaan. Berita itu adalah, tentang keinginan Kiai Cholil untuk mengambil Bisri muda sebagai menantunya. Bisri muda akan dijodohkan dengan puteri Kiai Cholil, yang bernama Ma’rufah. Berita itu ia dapatkan dari ibunya ketika Beliau pulang ke rumahnya di Sawahan. Ibunya menceritakan bahwa Kiai Cholil telah datang kepadanya dan meminta Bisri untuk dijadikan menantunya.
Kiai Bisri kemudian mengalami kebingungan mendengar berita tersebut. Akan tetapi setelah melihat bahwa ibu dan seluruh keluarganya termasuk kakaknya H Zuhdi menyetujuinya, maka hati Bisri menjadi mantap dan setuju untuk menikah. Setelah segala sesuatunya dipersiapkan maka tanggal 17 Rajab 1354 H / Juni 1935 dilaksanakan akad nikah antara Kiai Bisri dengan Ma’rufah binti Kiai Cholil. Pada waktu itu kedua berusia  20 tahun.
Setelah menjadi menantu Kiai Cholil, Kiai Bisri muda membantu mengajar di pesantren Kiai Cholil, pesantren di mana Bisri muda menimba ilmu. Pernikahannya ini dikaruniai delapan orang anak, yaitu; Cholil (lahir 1941), Mustofa (lahir 1943), Adieb (lahir 1950), Faridah (lahir 1952), Najichah (lahir 1955), Labib (lahir 1956), Nihayah (lahir 1958) dan Atikah (lahir 1964). Seiring perjalanan waktu, Kiai Bisri kemudian menikah lagi dengan seorang perempuan asal Tegal Jawa Tengah bernama Umi Atiyah. Peristiwa tersebut kira-kira tahun 1967-an. Dalam pernikahan dengan Umi Atiyah tersebut, Kiai Bisri dikaruniai satu orang putera laki-laki bernama Maemun.

Berguru hingga ke Mekkah
Menjadi menantu kiai ternyata enak-enak susah. Bagi yang pintar memang enak, sebab langsung dapat mengajar, tanpa susah payah mencari murid. Bagi yang ilmunya pas-pasan, tentu susahnya bukan kepalang. Sialnya lagi, orang-oang beranggapan, tidak mungkin seorang kiai mengambil menantu bodoh. Itulah yang dialami Kiai Bisri saat telah menikah dengan putri Kiai Cholil Harun.
Kiai Cholil prihatin ketika banyak santri minta dibacakan kitab yang macam-macam. Padahal, jangankan membaca, wujud kitabnya saja kadang dia belum pernah tahu. Namun bukan berarti tidak ada jalan baginya, sebab menolak mengajar adalah pantangan. Dicari akal untuk mengatasinya. Ketemulah model candak kulak atau belajar sambil mengajar. Caranya, tiga hari sekali dia belajar pada Kiai Kamil di Kanggeneng. Hasil belajar itu kemudian diajarkan pada santrinya esok paginya. Sekali belajar di Kanggenang, diajarkan untuk tiga hari pada santrinya.
Repotnya, jadwal mengaji di Pesantren Kasingan menjadi sangat bergantung pada jadwal mengaji di Pesantren Kanggeneng. Kalau pengajian di Kanggeneng libur sehari saja maka pengajian di Kasingan diliburkan tiga hari, sebab Kiai-nya kehabisan bahan.
Merasa tidak bisa terus menerus hanya dengan mengandalkan candak kulak. Kiai Bisri pun ingin meninggalkan Bumi Panas peninggalan mertua, Pesantren Kasingan. Maka ketika musim haji  tiba, ia nekad pergi ke Makkah dengan uang tabungan dan hasil jualan kitab, meski hanya dengan modal pas-pasan.
Di Mekah, pendidikan yang dijalani Kiai Bisri Musthofa bersifat non-formal. Beliau belajar dari satu guru ke guru lain secara langsung dan privat. Di antara guru-guru beliau terdapat ulama-ulama asal Indonesia yang telah lama mukim di Mekah. Secara keseluruhan, guru-guru beliau di Mekah adalah: (1) Syeikh Baqir, asal Yogyakarta. Kepada beliau, Kiai Bisri Musthofa belajar kitab Lubbil Ushul, ‘Umdatul Abrar, Tafsir al-Kasysyaf; (2) Syeikh Umar Hamdan al-Maghriby. Kepada beliau, Kiai Bisri Musthofa belajar kitab hadits Shahih Bukhari dan Muslim; (3) Syeikh Ali Maliki. Kepada beliau, Kiai Bisri Musthofa belajar kitab al-Asybah wa al-Nadha’ir dan al-Aqwaal al-Sunnan al-Sittah; (4) Sayid Amin. Kepada beliau, Kiai Bisri Musthofa belajar kitab Ibnu ‘Aqil; (5) Syeikh Hassan Massath. Kepada beliau, Kiai Bisri Musthofa belajar kitab Minhaj Dzawin Nadhar; (6) Sayid Alwi. Kepada beliau, Kiai Bisri Musthofa belajar tafsir al-Qur’an al-Jalalain; (7) Kiai Abdullah Muhaimin. Kepada beliau, Kiai Bisri Musthofa belajar kitab Jam’ul Jawami.
Dua tahun lebih Kiai Bisri menuntut ilmu di Mekah. Kiai Bisri pulang ke Kasingan tepatnya pada tahun 1938 atas permintaan mertuanya. Setahun kemudian, mertuanya,  Kiai Kholil,  meninggal dunia. Sejak itulah Kiai Bisri Mustofa menggantikan posisi guru dan mertuanya itu sebagai pemimpin pesantren.
Dalam mengajar para santrinya, beliau melanjutkan sistem yang dipergunakan kiai-kiai sebelumnya yaitu menggunakan sistem balah (bagian) menurut bidangnya masing-masing. Beberapa kitab yang diajarkan langsung kepada para santrinya adalah Shahih Bukhari, Shahih Muslim, Alfiyah Ibn Malik, Fath al-Mu’in, Jam’ul Jawami’, Tafsir al-Qur’an, Jurumiyah, Matan ‘Imrithi, Nadham Maqshud, ‘Uqudil Juman, dan lain-lain.
Kiai Bisri Musthofa memiliki banyak murid. Di antara murid-muridnya yang menonjol adalah Kiai Saefullah (pengasuh sebuah pesantren di Cilacap Jawa Tengah), Kiai Muhammad Anshari (Surabaya), Kiai Wildan Abdul Hamid (pengasuh sebuah pesantren di Kendal), Kiai Basrul Khafi, Kiai Jauhar, Drs. Umar Faruq SH, Drs. Ali Anwar (Dosen IAIN Jakarta), Drs. Fathul Qorib (Dosen IAIN Medan), H. Rayani (Pengasuh Pesantren al-Falah Bogor), dan lain-lain.

Berpikir Moderat
Tidak dapat dipungkiri, di dalam lingkungan kaum muslimin ada dua kecenderungan, yaitu kelompok tekstual-skripturalistik dan kelompok rasional. Kelompok tekstualis selalu menjadikan ayat al-Qur’an dan Hadits apa adanya sebagai dasar argumen, berpikir, dan bersikap. Sementara kelompok rasionalis selalu memberikan interpretasi rasional terhadap teks-teks keagamaan berdasarkan kemampuan akalnya.
Kiai Bisri Musthofa tidak termasuk di antara kedua kelompok di atas. Kiai Bisri Musthofa lebih cenderung berada di tengah-tengah antara tekstual-skripturalis dan rasionalis. Sebagaimana terlihat jelas dalam kitab tafsirnya, al-Ibruz, Kiai Bisri Musthofa selalu memberikan tafsiran terhadap ayat-ayat mutasyabihat dengan mengambil beberapa pendapat para mufassir disertai dengan argumen-argumen yang beliau berikan sendiri. Dalam kitab tafsirnya itu tidak sedikit ditemukan uraian-uraian yang menyangkut ilmu sosial, logika, ilmu pengetahuan alam dan sebagainya.
Di bidang akhlak, Kiai Bisri Musthofa termasuk orang yang sangat memprihatinkan kondisi kemorosotan moral generasi muda. Lewat karya-karyanya di bidang akhlak itulah Kiai Bisri Musthofa menyampaikan nasihat-nasihatnya kepada generasi muda. Dalam kitab berbahasa Jawa Washoya Abaa li al-Abna, misalnya, beliau memberikan tuntunan-tuntunan seperti sikap taat dan patuh kepada orangtua, kerapihan, kebersihan, kesehatan, hidup hemat, larangan menyiksa binatang, bercita-cita luhur dan nasihat-nasihat baik lainnya. Sementara dalam karya yang berbentuk syair Jawa, yaitu kitab Ngudi Susila dan Mitra Sejati, Kiai Bisri Musthofa menekankan sikap humanisme, kemandirian, rajin menuntut ilmu dan lain-lain.
Sedangkan pemikiran Kiai Bisri Musthofa dalam bidang fiqh terlihat dalam pemikirannya mengenai Keluarga Berencana (KB). Menurutnya, manusia dalam berkeluarga diperbolehkan berikhtiar merencanakan masa depan keluarganya sesuai dengan kemampuan yang ada pada dirinya. Dalam pandangan Kiai Bisri Musthofa, Keluarga Berencana diperbolehkan bila disertai dengan alasan yang pokok, yaitu untuk menjaga kesehatan ibu dan anak, dan meningkatkan pendidikan sang anak.

Berjuang untuk Bangsa
Kiai Bisri Musthofa hidup dalam tiga zaman, yaitu zaman penjajahan, zaman pemerintahan Soekarno, dan masa Orde Baru. Pada zaman penjajahan, ia duduk sebagai ketua Nahdlatul Ulama dan ketua Hizbullah Cabang Rembang. Kemudian, setelah Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI) dibubarkan Jepang, ia diangkat menjadi ketua Masyumi Cabang Rembang. Ketua Masyumi pusat waktu itu adalah Kiai Hasyim Asy’ari dan wakilnya Ki Bagus Hadikusumo.
Masa-masa menjelang kemerdekaan, Kiai Bisri mendapat tugas dari PETA (Pembela Tanah Air). Beliau juga pernah menjabat sebagai kepala Kantor Urusan Agama dan ketua Pengadilan Agama Rembang. Menjelang kampanye Pemilu 1955, jabatan tersebut ditinggalkan, dan mulai aktif di partai NU. Dalam hal ini beliau menyatakan : “Tenaga saya hanya untuk partai NU… dan di samping itu menulis buku”.
Pada zaman pemerintahan Soekarno, Kiai Bisri duduk sebagai anggota konstituane, anggota MPRS dan Pembantu Menteri Penghubung Ulama. Sebagai anggota MPRS, ia ikut terlibat dalam pengangkatan Letjen Soeharto sebagai Presiden, menggantikan Soekarno dan memimpin do’a waktu pelantikan.
Pada masa Orde Baru, Kiai Bisri pernah menjadi anggota DPRD I Jawa Tengah hasil Pemilu 1971 dari Fraksi NU dan anggota MPR dari Utusan Daerah Golongan Ulama. Pada tahun 1977, ketika partai Islam berfusi menjadi Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Kiai Bisri menjadi anggota Majelis Syura PPP Pusat. Secara bersamaan, beliau juga duduk sebagai Syuriyah NU wilayah Jawa Tengah.
Menjelang Pemilu 1977, Kiai Bisri Musthofa terdaftar sebagai calon nomor satu anggota DPR Pusat dari PPP untuk daerah pemilihan Jawa Tengah. Namun sayang sekali, Pemilu 1977 berlangsung tanpa kehadiran Kiai Bisri Musthofa. Beliau meninggal dunia seminggu sebelum masa kampanye 24 Februari 1977. Duduknya Kiai Bisri Musthofa sebagai calon utama anggota DPR tersebut memang memberikan bobot tersendiri bagi perolehan suara PPP. Itulah sebabnya, wafatnya beliau dirasakan sebagai suatu musibah yang berat bagi warga PPP. [] diramu dari berbagai sumber.

Tentang Hanif e-Magazine

HanifMagz [hanif e-magazine] adalah majalah elektronik yang didedikasikan untuk menyebarkan informasi mengenai Islam dan Kaum Muslim di Indonesia, Asia Tenggara, dan dunia.
Pos ini dipublikasikan di Dunia Kiai dan tag . Tandai permalink.

Tinggalkan komentar