KH Achmad Siddiq, Sang Arsitek Khittah NU

Ia sosok ulama yang cerdas, sabar, tenang, berwawasan luas, serta memiliki kejernihan pikiran dan spiritual. Kiprahnya di Nahdlatul Ulama sangat penting. Dialah yang meng-arsiteki penerimaan NU terhadap Pancasila sebagai asas tunggal pada 1983 sekaligus mengakhiri debat panjang agama versus negara di kalangan Nahdlyin. Dia pula tokoh yang menjadi penggagas sekaligus konseptor kembalinya NU ke Khittah 1926 pada Muktamar 1984. Tak heran, almarhum KH Abdurrahman Wahid menyebutnya sebagai sosok mulia, yang mampu menahkodai NU di saat-saat yang genting diterpa badai dan mengembalikan NU ke khittah asalnya.

Anda tentu masih ingat polemik seputar asas tunggal Pancasila yang sempat menggegerkan organisasi massa Islam pada pertengahan 1980-an silam. Kebijakan pemerintah Orde Baru itu, secara umum mendapat reaksi keras dari umat Islam, termasuk para alim ulama dari Nahdlatul Ulama (NU). Tapi, bagaimana bisa NU yang awalnya bereaksi keras, dalam waktu singkat bisa menerima Pancasila sebagai asas tunggal, bahkan sebelum kebijakan itu resmi diundangkan pada 1985?

Konon, seperti terekam dalam buku Menapak Jejak Mengenal Watak Sekilas Biografi 26 Tokoh Nahdlatul Ulama, langkah progresif itu tak lepas dari peran yang dimainkan KH Achmad Siddiq dari Jember, Jawa Timur. Kiai Achmad, demikian ia akrab disapa, adalah orang yang berhasil meyakinkan ratusan ulama NU yang berkumpul di Pesantren Salafiyah Syafiiah, Sukorejo, pada 18-20 Desember 1983, untuk menerima Pancasila sebagai asas organisasi.

Di forum Musyawarah Nasional Nahdlatul Ulama itu, berbekal makalah setebal 34 halaman, Kiai Achmad menjelaskan duduk soal Pancasila dan mengapa NU harus menerima asas tersebut. Ia tak berapologi, cukup dengan mengungkapkan berbagai argumentasi dasar dan argumentasi historis dari babak sejarah umat Islam di Indonesia. “Pancasila dan Islam adalah hal yang dapat sejalan dan saling menunjang. Keduanya tidak bertentangan dan jangan dipertentangkan,” kata Kiai Achmad.

“NU menerima Pancasila berdasar pandangan syari’ah. Bukan semata-mata berdasar pandangan politik. Dan NU tetap berpegang pada ajaran aqidah dan syariat Islam. Ibarat makanan, Pancasila itu sudah kita makan selama 38 tahun, kok baru sekarang kita persoalkan halal dan haramnya,” katanya setengah bergurau, tapi diplomatis.

Hasilnya bisa ditebak, ratusan kiai kini berbalik mendukung Pancasila sebagai satu-satunya asas organisasi. Peristiwa itu menandai sebuah babak baru dalam perjalanan NU sebagai organisasi massa Islam yang pertama kali menerima asas tunggal, bahkan sebelum resmi diundangkan pada 1985. Secara sistematis keputusan menerima Pancasila sebagai asas tunggal, dirumuskan dalam Deklarasi tentang Hubungan Pancasila dan Islam, yang terdiri dari lima poin.

Pertama, Pancasila sebagai dasar dan falsafah negara Republik Indonesia bukanlah agama, dan tidak dapat menggantikan agama dan tidak dapat dipergunakan untuk menggantikan agama. Kedua, sila Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai dasar negara Republik Indonesia menurut Pasal 29 ayat 1 UUD 1945, yang menjiwai sila-sila yang lain, mencerminkan tauhid menurut pengertian keimanan dalam Islam.

Ketiga, bagi NU, Islam adalah aqidah dan syari’ah, meliputi aspek hubungan manusia dengan Allah dan hubungan antarmanusia. Keempat, penerimaan dan pengamalan Pancasila merupakan perwujudan dari upaya umat Islam Indonesia untuk menjalankan syariat agamanya. Kelima, sebagai konsekuensi dari sikap di atas, NU berkewajiban mengamankan pengertian yang benar tentang Pancasila dan pengamalannya yang murni dan konsekuen oleh semua pihak.

Pemikiran Kiai Achmad yang kemudian menjadi deklarasi itu, rupanya dilatari dua landasan, yaitu historis dan hukum. Secara historis umat Islam tidak pernah absen dalam menolak penjajahan dan menegakkan serta mengisi kemerdekaan. Sejak awal umat Islam berada di garda terdepan mengusir penjajah.
Sementara secara hukum, Allah SWT mewajibkan amar ma’ruf nay munkar bagi umat manusia. Kewajiban itu tentu saja tidak dapat dilakukan tanpa adanya kekuatan dan imamah yang kuat dan mendukung. Atas dua landasan inilah maka mendukung negara Pancasila menjadi wajib hukumnya sebagai konsekuensi dari perjuangan yang dilakukan oleh umat Islam di masa lalu.

Kiai Achmad menegaskan, konsekuensi lain dari penerimaan asas tunggal Pancasila adalah menerima wujud negara Republik Indonesia dengan Pancasila sebagai dasarnya merupakan upaya final seluruh bangsa terutama kaum Muslimin untuk mendirikan negara di wilayah Nusantara. Dengan begitu, Kiai Achmad berhasil mendamaikan perdebatan antara agama dan negara, khususnya di kalangan kaum Nahdliyin.

Seiring diterimanya Pancasila sebagai asas organisasi, nama Kiai Achmad pun kian melejit menjadi bintang Munas.  Tak heran, dalam Muktamar NU ke 27 di Situbondo, setahun kemudian, Kiai Achmad Siddiq terpilih sebagai Ro’is Aam PBNU berpasangan dengan KH. Abdurrahman Wahid sebagai Ketua Umum Tanfidziahnya.

Duet Kiai Achmad dan Gus Dur tenyata mampu mengangkat pamor NU ke permukaan. Beberapa kali NU bisa selamat ketika menghadapi setiap persoalan besar dan pelik berkat kepemimpinan keduanya. Semisal goncangan, ketika Kiai As’ ad yang kharismatik mengguncang NU dengan sikap mufaroqohnya terhadap kepemimpinan Gus Dur. Dalam Munas NU di cilacap tahun 1987, Kiai As’ad menginginkan Gus Dur dijadikan agenda Munas, dan diganti. Namur demikian, Kiai Achmad Siddiq dan Kiai Ali Ma’shum tampil membelanya.

Kiai Achmad dalam posisi sulit dan menentukan itu mampu meyakinkan warga NU untuk tetap kukuh dengan khittah NU 1926. Pada Muktamar ke-28 di Yogyakarta pada tahun 1989 Kiai Achmad menegaskan pendiriannya tentang Khittah. “NU ibarat kereta, api, bukan taksi yang bisa, dibawa, sopirya, ke mana, saja. Rel NU sudah tetap”, ujarnya bertamsil. Dengan tamsil ini pula Muktamar Yogyakarta dapat mempertahankan duet Kiai Achmad dengan Gus Dur.

Arsitek Khittah 1926
Di forum Munas Situbondo 1983, gagasan yang diarsiteki Kiai Achmad agar NU kembali ke khittah 1926 juga disepakati menjadi keputusan resmi organisasi, yang kemudian dikuatkan menjadi keputusan resmi pada Muktamar setahun kemudian, 1984. Dalam buku Menapak Jejak Mengenal Watak Sekilas Biografi 26 Tokoh Nahdlatul Ulama diceritakan, konsep kembali ke Khittah 1926 yang mencuat dan dikenal masyarakat luas menjelang berlangsungnya Munas Alim Ulama tahun 1983. Tapi, sebenarnya jauh hari sebelum itu, KH Achmad Siddiq sudah mengintroduksi dasar-dasar pemikiran Khittah Nahdliyyah. Pada 1979, ia menyusun pokok-pokok pikiran tentang Khittah Nahdliyyah sebagai sumbangan berharga bagi warga NU.

Adapun rumusan Khittah 1926 hasil Munas Situbondo 1983 sendiri yaitu, pertama, mengembalikan aktivitas NU dari bidang politik ke bidang asalnyam yakni bidang dakwah, pendidikan, dan sosial. Terlalu lama NU bekecimpung di dunia politik praktis, sejak 1955-1982, hingga garapan pokoknya sendiri terbengkalai. Kedua, menyerahkan sepenuhnya kepada warga NU dalam menyalurkan aspirasi politiknya, apakah ke Golkar, PPP, maupun PDI, waktu itu yang memang dipandang baik dan tidak bertentangan dengan Islam.

Ketiga, membenahi organisasi, setelah terperangkap dalam kemelut intern sesuai Munas Alim Ulama di Kali Urang, Yogyakarta, 1981, yang melahirkan dua kubu yaitu Cipete dan Situbondo. Pembenahan bidang ini kemudian terbukti dengan terjadinya rekonsiliasi 10 September 1984 di kediaman KH Hasyim Latif, Sepanjang, Sidoarjo. Faedah lain dari Khittah 1926, yaitu mengangkat peran ulama dalam lembaga, seperti Mustasyar dan Syuriah, sebagai lembaga tertinggi dalam kepemimpinan NU.

Sosok Mulia dari Jember
Almarhum KH Abdurrahman Wahid dalam salah satu artikelnya di Kompas, Sabtu, 26 Januari 1991, berjudul In Memoriam Kiai Achmad Siddiq menggambarkan sosok Kiai Achmad sebagai orang mulia, yang dengan berbagai keterbatasan dan kekurangannya dapat meriah ketinggian yang tak dapat dicapai oleh mereka yang lebih kuat. Bahkan, dengan kelemahannya pula ia justru mampu menahkodai NU kembali kepada khittah asalnya.

Kiai Haji Achmad Siddiq lahir di Jember pada Ahad Legi 10 Rajab 1344  atau bertepatan dengan tanggal 24 Januari 1926.  Kiai  Achmad adalah putra bungsu Kiai Siddiq dari lbu Nyai H. Zaqiah (Nyai Maryam) binti KH. Yusuf. Dalam usia yang relatif kecil ia telah menjadi yatim piatu. Abahnya meninggal ketika usianya 8 tahun dan sebelumnya, pada usia  4 tahun, ibu kandungnya lebih dulu wafat di tengah perjalanan pulang dari Mekkah usai menunaikan ibadah haji.

Dalam usia kanak-kanak, Kiai Achmad sudah yatim piatu. Karena itu, Kiai Mahfudz Siddiq, kakak kandungnya, menjadi pengasuhnya menggantikan kedua orang tuanya. Sedangkan Kiai Halim Siddiq mengasuh Abdullah, yang masih berumur  10 tahun. Dalam asuhan sang kakak, Kiai Achmad tumbuh mewarisi sifat dan gaya berfikir kakaknya, Kiai Mahfudz Siddiq. Ia dikenal berwatak sabar, tenang, dan sangat cerdas. Wawasan berfikirnya amat luas baik dalam ilmu agama maupun pengetahuan umum.

Pendidikan agama awal Kiai Achmad diperoleh dari abahnya sendiri, Kiai Siddiq. Kiai Siddiq sebagaimana uraian-uraian sebelumnya, dalam mendidik terkenal sangat ketat, terutama dalam hal sholat. Beliau wajibkan semua putra-putranya sholat berjama’ah 5 waktu. Selain mengaji pada abahnya, Kiai Achmad juga banyak menimba ilmu dari kakaknya, Kiai Machfudz. Dari dia Kiai Achmad banyak belajar kitab kuning aneka disiplin.

Usai mendapatkan pendidikan di lingkungan keluarganya, Kiai Achmad dikirim ke pesantren yang ketika itu sangat masyhur, Tebuireng, asuhan Kiai Hasyim As’ari. Di Tebuireng, Kiai Hasyim melihat potensi kecerdasan pada Kiai Achmad. Maka, ia dan beberaa anak kiai lainnya sengaja disatukan dalam satu kamar khusus. Cara ini dlakukan agar mereka dapat dikader sebagai ulama secara lebih ketat dibanding santri lainnya. Karena mereka akan mewarisi kepemimpinan pesantren di daerahnya masing-masing.

Kepribadian yang dimiliki Kiai Achmad, sebagaimana telah disinggung, dikenal tenang dan cerdas. Tak heran jika teman-temannya sangat segan kepadanya. Selain tenang, gaya bicaranya juga khas dan memikat, sehingga dalam setiap khitobah, banyak santri yang mengaguminya. Kepribadian yang unggul itu ditambah lagi dengan kebiasaan Kiai Achmad yang senang membaca kitab. Ia pun menjadi sosok yang dikagumi.

Di usia yang relatif muda, ia telah memegang ilmu tuwo. Jangankan teman sekelas, guru yang mengajar pun segan kepadanya. Hanya ada satu santri yang berani menggodanya, yaitu Abdul Muchit Muzadi, adik kelasnya yang kelak menjadi sekretaris pribadinya. Sejak saat itu Kiai Achmad berkawan dengan Kiai Muchith Muzadi. Selain pernah menjadi sekretaris pribadi, Kiai Muchit juga kelak menjadi mitra diskusinva dalam merumuskan konsep-konsep strategis ke-NU-an, seperti buku Khittah Nandliyah dan  Fikroh Nandliyah.

Berkat kecerdasan dan kepiawaiannya berpidato, Kiai Achmad sangat dekat dengan Kiai Wahid Hasyim. Kiai Wahid membimbing Kiai Achmad dalam Madrasah Nidzomiyah. Perhatian Gus Wahid pada Achmad sangat besar. Gus Wahid juga mengajar ketrampilan mengetik dan membimbing pembuatan konsep-konsep. Hubungan mereka pun kian dekat.

Kedekatan hubungan itu berlanjut. Bahkan ketika Kiai Wahid Hasyim memegang jabatan ketua MIAI, Ketua NU, dan Menteri Agama, Kiai Achmad juga yang dipercaya sebagai sekretaris pribadinya. Dengan pengalaman di Tebuireng dan pergaulannya itu, Kiai Achmad Siddiq tidak hanya mereguk ilmu KH. Hasyim Asy’ari, tapi juga ilmu dan bimbingan Kiai Wachid Hasyim.

Usai nyantri, Kiai Achmad menikah dengan Nyai H. Sholihah binti Kiai Mujib pada tanggal 23 Juni 1947, dan dikaruniai 5 orang anak, yaitu: KH. Mohammad Farid Wajdi (Jember), Drs. H. Mohammad Rafiq Azmi (Jember), Hj. Fatati Nuriana (istri Mohammad Jufri Pegawai PEMDA Jember), Mohammad Anis Fuaidi (wafat kecil), dan KH. Farich Fauzi (pengasuh pondok pesantren Al-Ishlah Kediri).

Nyai Sholihah tidak berumur panjang, Allah memanggilnya ketika putra-putrinya masih kecil. Sehingga keempat anaknya itu diasuh oleh Nyai Hj. Nihayah, adik kandung ketiga Nyai Sholihah. Melihat eratnya hubungan anak-anak dengan bibinya, maka Nyai Zulaikho, kakaknya, kemudian mendesak Kiai Achmad agar melamar Nihayah. Dan Kiai Mujib pun menerima lamaran tersebut.

Pernikahan Kiai Achmad Siddiq dengan Nyai Hj. Nihayah binti KH. Mujib, Tulung Agung, memnpunyai 8 orang putra, yaitu: Asni Furaidah,  Drs. H. Moh. Robith Hasymi (Jember), Ir. H. Mohammad Syakib Sidqi (Dosen di Sumatra Barat), H. Mohammad Hisyarn Rifqi (suami Tahta Alfina Pagelaran, Kediri), Ken Ismi Asiati Afrik Rozana, BA (istri Drs. Nurfaqih, guru SMA Jember), Dra. Nida, Dusturia (istri Tijani Robert Syaifun Nuwas bin Kiai Hamim Jazuli), H. Mohammad Balya Firjaun Barlaman (pengasuh PP. Al Falah Ploso Kediri), dan Mohammad Muslim Mahdi yang wafat ketika usianya masih belia.

Berjuang dan Mengabdi
Sebagai santri yang bergulat dengan aneka problem yang dihadapi masyarakatnya, Kiai Achmad tak bisa berdiri di menara gading pesantren tanpa terlibat dalam masalah kemasyarakatan. Sejak tamat belajar di Tebuireng, Kiai Achmad memang kemudian banyak terlibat dalam berbagai organisasi kemasyarakatan. Ia mengawali karir politiknya di Gabungan Pemuda Islam Indonesia (GPII) Jember. Di organisasi ini karirnya terbilang moncer, ia masuk hingga kepengurusan tingkat Jawa Timur. Pada Pemilu 1955, Kiai Achmad terpilih sebagai anggota DPR Daerah sementara di Jember.

Masa-masa pengabdiannya merupakan masa mempertahankan kemerdekaan Indonesia 1945. Dalam karir perjuangan ia mengawali dengan menjadi pejabat Badan Executive Pemerintah Jember, bersama A Latif Pane (PNI), P. Siahaan (PBI), dan Nazarudin Lathif (Masyumi). Selain itu, Kiai Achmad juga berjuang di pasukan Mujahidin (PPPR) pada tahun 1947. Saat itu Belanda. melakukan Agresi Militer yang pertama. Belanda merasa kesulitan membasmi PPPR, karena anggotanya adalah para Kiai. Agresi tersebut kemudian menimbulkan kecaman internasional terhadap Belanda sehingga muncullah Perundingan Renville.

Sebagai konsekuensinya perjanjian Renville, maka pejuang-pejuang di daerah kantong, termasuk Jember, harus hijrah. Para pejuang dari Jember kebanyakan mengungsi ke Tulung Agung. Di sanalah Kiai Achmad mempersiapkan pelarian bagi para pejuang yang mengungsi tersebut.

Pengabdiannya di ranah pemerintahan dimulai sebagai kepala Kantor Urusan Agama (KUA) di Situbondo. Saat itu di Departemen Agama dikuasai oleh tokoh-tokoh NU. Menteri Agama adalah KH. Wahid Hasyim (NU). Dan karirnya di pemerintahan melonjak cepat. Dalam waktu singkat, Kiai Achmad Siddiq menjabat sebagai Kepala Kantor Wilayah Departemen Agama di Jawa Timur.

Di NU sendiri, karir Kiai Achmad bermula di Jember. Dalam waktu relatif singkat, Kiai Achmad sudah aktif di kepengurusan tingkat wilayah Jawa Timur. Di NU Jawa Timur saat itu ada dua orang bani Siddiq yaitu: Kiai Achmad dan Kiai Abdullah (kakaknya). Bahkan pada Konferensi NU wilayah berikutnya, pasangan kakak beradik tersebut dikesankan saling bersaing dan selanjutnya Kiai Achmad Siddiq muncul sebagai ketua wilayah NU Jawa Timur.

Tetapi Kiai Achmad merasa tidak puas dengan kiprahnya selama ini. Panggilan suci untuk mengasuh pesantren peniinggalan Kiai Siddiq menuntut kedua Siddiq tersebut mengadakan komitmen bersama. Keputusannya adalah Kiai Abdullah Siddiq lebih menekuni pengabdian di NU Jawa Timur, sedangkan Kiai Achmad Siddiq mengasuh pondok pesantrennya.

Sejak tahun 1971, Kiai Achmad kembali aktif memimpin pesantren Ash-Shiddiqiyah, di tanah kelahirannya, Jember. Seiring memipin pesantren, ia juga menggelar pengajian bagi masyarakat umum. Pengajian itu diarahkan pada upaya mendekatkan masyarakat pada agama melalui tasawuf. Kelak pengajian yang dirintisnya itu dikenal dengan Pengajian Dzikrul Ghafilin yang jamaahnya tersebar di berbagai kota dan penjuru tanah air.

Dari pesantren, ia juga masih memikirkan masa depan NU. Maka, ia pun dengan dibantu Kiai Abdul Muchit Muzadi menulis risalah mengenai Khittah Nahdliyah. Risalah itu kelak menjadi tonggak bagi kembalinya NU ke khittah pada 1984. Kendati di pesantren, ia terlibat dalam berbagai wacana nasional. Seperti disinggung di awal ketika pemerintah menerapkan Pancasila sebagai asas tunggal bagi semua organisasi, maka ia tampil membawa solusi yang dapat diterima para ulama.

Ketika NU tengah galau dan carut marut karena politik praktis, Kiai Achmad kembali tampil membawa gagasan kembali ke khittah 1926 dan menanggalkan dunia politik praktis. Dari sana, pada Muktamar di Situbondo 1984, kiprahnya dibutuhkan NU, maka ia pun dipercaya menjadi Rais Aam PBNU, berduet bersama KH Abdurrahman Wahid yang menjadi Ketua Umum Tanfidziah.

Menghadap Sang Khaliq
Ia masih aktif di NU kendati kondisi kesehatannya kian menurun. Usai Muktamar di Yogyakarya, Kiai Achmad menderita sakit Diabetes Melitus. Ia pun dilarikan ke RS. Dr. Sutomo, Surabaya. “Tugasku di NU sudah selesai,” kata Kiai Achmad pada rombongan PBNU yang membesuknya. Ternyata isyarat itu benar. Pada 23 Januari 1991, Kiai Achmad Siddiq wafat. Rais Aam PBNU yang berwajah sejuk itu menanggalkan beberapa jabatan penting, seperti anggota Dewan Pertimbangan Agung dan anggota Badan Pertimbangan Pendidikan Nasional.

Berdasarkan wasiatnya, KH Achmad Siddiq dimakamkan di kompleks makam Auliya, Tambak Mojo, Kediri. “Aku senang di sini. Besok kalau aku mati dikubur sini saja,” begitu wasiat Kiai Achmad pada istri dan anak-anaknya. Ribuan orang bertakziah atas wafatnya Kiai Achmad Siddiq yang disemayamkan di rumah duka, kompleks Pesantren Ashtra, Talangsari. Esok harinya, sekitar seratus mobil beriring-iringan mengantarkan Sang Kiai ke Makam Aulia.

Kini, Kiai Achmad dikenang sebagai salah satu tokoh utama NU. Warisan perjuangannya, dari khittah hingga pengajian-pengajian tasawuf yang dibinanya, terus diingat dan dipelihara. Atas jasa-jasanya, pemerintah menganugerahi Kiai Achmad Bintang Mahaputrera Nararya. Wallahu a’lam. [] berbagai sumber.

Tentang Hanif e-Magazine

HanifMagz [hanif e-magazine] adalah majalah elektronik yang didedikasikan untuk menyebarkan informasi mengenai Islam dan Kaum Muslim di Indonesia, Asia Tenggara, dan dunia.
Pos ini dipublikasikan di Dunia Kiai dan tag , , , . Tandai permalink.

Tinggalkan komentar